Senin, 08 April 2013

H7N9 informasi


Bahan Informasi (Interview) dengan Media
Kasus HPAI H7N9 di Cina
08 April 2013
1. Sebagaimana telah diberitakan media internasional bahwa di Cina barubaru ini telah berjangkit virus Flu Burung H7N9 dan menyebabkan
kematian pada manusia. Apa perbedaan antara virus Flu Burung H5N1 dan
H7N9 ?
a. Virus Influenza memang sangat unik dan berbeda dengan virus penyakit
lainnya, antara lain bersifat zoonosis, memiliki kemampuan bermutasi
secara genetic, memiliki beberapa segmen Haemagglutinin (H1 s/d H15)
dan N (Neuraminidase) N1 s/d N9.
b. Pada unggas yang diketahui bersifat ganas atau Highly Pathogenic Avian
Influenza (HPAI) adalah H5 dan H7. Selama ini wabah HPAI pada unggas
di berbagai Negara adalah H5N1. Sedangkan H7N9 belum pernah
dilaporkan di Negara manapun. Oleh karena itu, kasus ini pertama kali
dilaporkan di Cina.
2. Bagaimana informasi kasus Flu Burung H7N9 tersebut terjadi di Cina ?
a. Berdasarkan informasi sementara yang kami peroleh bahwa kasus Flu
Burung di Cina yang telah diidentifikasi disebabkan oleh virus HPAI sub
type H7N9 ini telah terjadi pada manusia dilaporkan sebanyak 18 kasus,
terdiri dari 8 kasus di Provinsi Shanghai, 6 kasus di Provinsi Jiangsu, 3 kasus di
Provinsi Zhejiang dan 1 kasus di Provinsi Ahui.
b. Dari 18 kasus tersebut 6 orang penderita diantaranya telah meninggal,
yakni 4 orang di Provinsi Shanghai dan 2 orang di provinsi Zhejiang.
c. Menurut laporan sementara masih belum diketemukan sumber penularan
pada unggas, atau belum ditemukan unggas yang positif terinfeksi virus
HPAI H7N9 dan saat ini masih dalam proses surveilans, investigasi
secara intensif.
3. Apakah dapat dipastikan virus HPAI H7N9 ini belum masuk ke Indonesia ?
a. Berdasarkan laporan dari para peternak/asosiasi perunggasan dan hasil
surveilans, bahwa sampai dengan saat ini dapat dipastikan belum masuk
ke Indonesia dan kita berusaha seketat mungkin untuk mencegah agar
tidak masuk ke Indonesia
b. Sejak pertama kali virus AI mewabah di Indonesia pada tahun 2003
sampai dengan saat ini, berdasarkan hasil surveilans dan kajian
biomolekuler hanya ditemukan virus HPAI subtype H5N1 clade 2.1 (2003
s/d sekarang) dan subtype H5N1 clade 2.3.2 (sejak Oktober 2012 s/d
sekarang)c. Data perkembangan kasus AI pada unggas yang disebabkan oleh virus
HPAI H5N1 clade lama 2.1. sejak tahun 2007 s/d 2013 sudah menurun
secara signifikan. Walaupun pada akhir tahun 2012 telah terjadi
peningkatan kasus AI yang disebabkan oleh virus HPAI H5N1 clade baru
2.3.2, namun perkembangannya telah menunjukkan penurunan secara
signifikan baik jumlah kasus, kematian itik maupun penyebaran
wilayahnya sejak januari s/d Maret 2013.
4. Apakah tindakan pencegahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia agar virus H7N9 tersebut tidak masuk ke Indonesia ?
a. Pemerintah Indonesia telah menetapkan ketentuan melarang pemasukan
unggas hidup dan produk asal unggas dari Negara tertular HPAI,
termasuk dari Cina.
b. Pemerintah Indonesia selama ini hanya mengijinkan pemasukan bibit
anak ayam (Day Old Chick/D.O.C) dan bibit anak Itik (Day Old
Duck/D.O.D) untuk keperluan Grand Parent Stock dari negera yang
berstatus bebas AI, antara lain: Jerman, Inggris, Perancis dan Malaysia.
c. Pemerintah Indonesia c.q. Kementerian Pertanian segera akan
menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian tentang pelarangan
pemasukan unggas dan produk unggas dari Negara Cina serta tindakan
pengawasan yang lebih diperketat di tempat-tempat pemasukan dari luar
negeri.
d. Public Awareness akan lebih ditingkatkan, baik kepada masyarakat
maupun para peternak unggas untuk meningkatkan kesadaran dalam
lapor, deteksi dan respon cepat terhadap kasus yang terjadi.
e. Meningkatkan koordinasi dengan Asosiasi Perunggasan agar lebih
meningkatkan penerapan 8 strategi pencegahan dan pengendalian
penyakit HPAI, khususnya penerapan biosekuriti yang lebih ketat,
vaksinasi yang efektif, depopulasi, dll.
f. Meningkatkan koordinasi lintas sector, lintas instansi, antara pusat dan
daerah.
g. Beberapa kegiatan kongkrit yang akan dilaksanakan dalam minggu ini,
antara lain:
1) Rapat Komisi Ahli Kesehatan Hewan, tanggal 8 April 2013, antara
lain akan membahas tentang ancaman dan antisipasi Virus HPAI
subtype H7N9 ini.2) The 13th ASEAN HPAI Task Force Meeting di Yogyakarta, tanggal
9-10 April 2013, akan membahas kerjasama negara anggota
ASEAN untuk mewujudkan kawasan ASEAN bebas HPAI tahun
2020 sesuai Roadmap yang telah disepakati bersama, serta
merumuskan strategi tindakat yang efektif untuk mencegah
masuknya virus HPAI H7N9 ke wilayah kawasan ASEAN
khususnya.
3) The Four Way Linking Workshop di Bali, tanggal 9-11 April 2013,
akan membahas kerjasama lintas sector (sector kesehatan hewan
dan kesehatan masyarakat) dalam melakukasn pengendalian dan
penanggulangan penyakit Flu Burung baik pada unggas, manusia
dan lingkungan dalam kerangka One Health.
4) Rapat Koordinasi lintas sector/instansi yang dikoordinasikan oleh
Komnas Pengendalian Zoonosis, tanggal 9 April 2013.
5) Dan lain-lain…
Jakarta, 8 April 2013.
Direktorat Kesehatan Hewan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian

Kamis, 04 April 2013

ASKARIASIS PADA SAPI




ASKARIASIS PADA PEDHET

(Pedhet anda cacingan?)


Mencegah lebih baik daripada mengobati mungkin merupakan slogan yang paling tepat untuk ditekankan di kalangan peterrnak kecil di pedesaan. Namanya juga peternak kecil yang jelas kecil segala-galanya, kecil jumlahnya, kecil modalnya, kecil pengelolaannya, dan kecil perhatiannya. Berternak merupakan kegiatan sampingan dari masyarakat kita. Kita ambil contoh memelihara sapi, lebih dari 60% warga didaerah pedesaan memelihara ternak ini dengan jumlah rata-rata 1 sampai 6 ekor per KK (Kepala Keluarga), warga sering menyebutnya sebagai celengan (tabungan) yang sewaktu-waktu diperlukan akan segera dilempit  (dijual).
Apapun istilahnya yang jelas ini merupakan peer bagi kita yang berkecimpung didunia peternakan, agar perhatian yang kecil dari peternak ini dapat kita arahkan untuk meningkatkan produktifitas ternak yang pada akhirnya menanbah pendapatan peternak. Di pedesaan sapi merupakan ternak yang paling luwes (mudah perawatannya, multi guna, harga relative stabil), sebagai celengan biasanya peternak memelihara indukan dengan harapan akan menghasilkan pedhet (anak sapi dibawah 3 bulan) sebagai hasilnya. Tidak banyak yang peternak harapkan selain pedhet ini tumbuh dengan sehat dan cepat besar. Sayang harapan ini sering tidak diimbangi dengan perhatian untuk kesehatannya.
Kasus penyakit pada pedhet yang paling sering terjadi di lapangan adalah kembung dan  diare yang sering menimbulkan kematian. Peternak akan sangat bingung dan ketakutan melihat kondisi pedhetnya lemas, nafasnya terengah-engah, perut membesar dan kepala sudah di tempelkan tanah. Pada umumnya peternak akan memberikan minuman bersoda dengan harapan pedhetnya akan segera glegekan (bersendawa) mengeluarkan gas diperutnya,atau ada pula yang memberikan air kelapa, kopi, bahkan minyak tanah dan tak jarang hasilnya ternyata memperparah keadaan. Jika sudah terjadi demikian peternak akan meminta pertolongan dari paramedis atau dokter hewan terdekat, melihat kondisi yang kembung besar biasanya trokart menjadi andalan. Bagaimana jika sudah di trokart tetap saja kembali kembung, mungkin kita perlu teliti lebih lanjut penyebab kembungnya.
 Kasus diatas merupakan contoh kecilnya perhatian peternak akan kesehatan hewan. Kembung dan diare dapat merupakan salah satu gejala cacingan, sederhana sebenarnya tapi cukup fatal akibatnya bila terlambat. Pedhet suka sekali makan tanah dan rumput-rumputan dilingkungan kandang sehingga sangat rentan terinfeksi cacing. Cacing yang paling sering menginfeksi pedhet adalah cacing askaris. Pada hewan dewasa tidak begitu berarti kecuali infeksinya berat tetapi pada hewan muda akan sangat menyebabkan kerugian besar, pertumbuhannya terhambat, konversi pakan terlalu tinggi yang akan menimbulkan kelemahan dan kematian. Ketika sudah terinfeksi cacing maka akan terjadi migrasi cacing muda melalui hati, paru-paru, kantong empedu dan perforasi dinding usus yang menyebabkan pedhet jadi gelisah, batuk-batuk, lemah dan diare dengan kotoran bercampur lemak. Cacing yang sudah dewasa sering menimbulkan penyumbatan saluran usus sehinggga menyebabkan kembung, dan jika sumbatan cacing ini tidak dihilangkan terlebih dahulu maka kembung tidak akan selesai hanya dengan di trokart.
Semua jenis askaris memiliki daur hidup yang hampir mirip dengan periode prepaten antara 8-9 minggu, kecuali neoaskaris vitulorum cacing ini melalui kolostrum. Pedhet terinfeksi n. vitulorum dapat terjadi sejak prenatal melalui plasenta induk yang makan telur infektif dan dari kolostrum hingga sampai dengan umur 10 hari pedhet telah mengandung cacing dewasa dan telur cacing sudah dapat ditemukan setelah umur 2-3 minggu.
Agar celengan  kita aman, sehat dan tumbuh kembang dengan baik sehingga saat dilempit menghasilkan lembaran yang cukup lumayan jangan lupa beri sedikit perhatian padanya. Rutin memberikan obat cacing adalah solusi sederhana yang paling efektif, paling tidak diusia pertumbuhan yaitu umur 10 hari dan 3 bulan. Piperazin sangat efektif untuk mengatasi cacing askaris dan cukup aman bagi pedhet umur 10 hari, selain itu pirantel dan morantel dapat juga diberikan dengan harga yang sangat terjangkau bagi kantong peternak kecil.
Senyum peternak akan semakin ceria melihat pedhetnya tumbuh dengan sehat dan cepat besar sehingga peternakpun tidak akan segan-segan menambah usaha ternaknya menjadi lebih besar. Rutin memberikan obat cacing bukan lagi pekerjaan paramedis atau dokter hewan tapi sudah menjadi budaya peternak untuk meningkatkan produktifitas ternaknya. Jadi jangan remehkan cacing……


Penulis: drh Ely Susanti, M.Sc.
 Praktisi dan Staff UPPT Dinas Pertanian Kabupaten Klaten

askariasis pada pedhet




SMART PACKAGE untuk Si Pedhet

                         Berawal dari pemikiran yang sederhana gagasan ini tercetus. Kami sering sekali menangani pedhet dengan keluhan diare, kembung, lemas, tidak mau menyusu induknya dan lain-lain. Setelah kami lakukan pemeriksaan secara klinis dan laboratoris (pemeriksaan natif terhadap tinja pedhet) diagnosa kami mengarah pada askariasis/cacingan. Tidak jarang dari kasus-kasus yang kita tangani sudah terlambat dan akhirnya berujung pada kematian. Hal ini sangat disayangkan, karena sebenarnya dapat dicegah dengan cukup mudah dan tidak memakan biaya mahal. Mengapa sampai terjadi? Dan mengapa sering terjadi? Inilah tantangannya. Perlahan tapi pasti kita mulai mengenalkan pada petani ternak tentang penyakit cacingan pada pedhet khususnya, apa penyebabnya, resiko akibatnya dan cara pencegahannya. Pendekatan ini secara intensif kita lakukan pada saat kita menangani kasus penyakit, dalam pertemuan – pertemuan kelompok tani dan pada kesempatan pembinaan kelompok ternak maupun perseorangan. Pendekatan yang paling mengena pada masyarakat adalah apabila sudah ada contoh kasus diwilayah mereka. Misalnya, ada seekor pedhet diare beberapa hari sampai diare berdarah, lemas dan menjadi sangat kurus, hal ini tentunya akan sangat mengkhawatirkan peternak dan kasus ini memerlukan penanganan yang serius dan tentunya membutuhkan biaya yang cukup lumayan. Padahal kasus tersebut kemungkinan besar bermula dari infeksi cacing yang tidak tertangani sehingga menyebabkan kondisi menurun, nafsu makan dan minum hilang, diikuti radang usus akibat infestasi cacing dewasa dan diperparah dengan infeksi sekunder (bakteri atau Virus).
            Dari kasus tersebut kemudian peternak kita ajak untuk berhitung secara ekonomis. Melalui dialog terbuka kita memberi gambaran bahwa jika kita memelihara pedhet secara seadanya dan terjadi kasus seperti tersebut kita akan butuh biaya berkisar 60-100 ribu rupiah untuk mengobati pedhet ini, belum lagi ditambah kerugian yang harus ditanggung peternak akibat pertumbuhan yang terhambat akibat sakit dan konversi pakan yang rendah. Kemudian kita bandingkan dengan jika kita sejak awal memberi perhatian pada pedhet. Secara rutin kita memberikan obat cacing sejak pedhet usia 10 hari (asumsi pedhet sudah terinfeksi cacing neoascaris vitulorum dari colostrum induk), 3 bulan dan kemudian tiap selang waktu 4-6 bulan, maka hasil yang kita dapatkan akan jauh lebih baik (red: pertumbuhan pedhet). Berapa rupiah yang kita keluarkan untuk obat cacing pedhet? 1 dosis obat cacing untuk pedhet berkisar 5-8 ribu rupiah (tergantung merek obat dan berat badan). Peternak juga tidak menanggung kerugian akibat konversi pakan yang rendah. Obat cacing dapat diberikan oleh peternak sendiri, dokter hewan atau paramedik cukup mengarahkan dan membimbing.
            Setelah peternak mulai berhitung dan terbuka pikirannya, kita kenalkan program lanjutannya yaitu pemberian suplement vitamin untuk merangsang pertumbuhan pedhet. Kami mengenalkan injeksi vitamin A,D dan E untuk pedhet. Tren beternak yang sedang ada diwilayah kami adalah pembibitan. Sebagian besar sapi potong dan sebagian kecil sapi perah. Untuk itulah arahan kita bagaimana supaya pedhet-pedhet ini memiliki postur badan yang bagus sehingga memiliki nilai jual yang tinggi sebagai “bakalan”. Dengan menberikan injeksi vitamin A,D dan E tujuan kita agar kebutuhan pertumbuhan pedhet baik tulang, kulit, hormon dan seluruh sel-sel tubuh lainnya terpenuhi dengan baik. Kita juga membandingkan bahwa hal ini tidak jauh berbeda dengan balita yang perlu rutin diberikan obat cacing dan vitamin. Untuk proghram injeksi vitamin ini biaya yang perlu dikeluarkan peternak berkisar 40-50 ribu rupiah (tergantung merek obat dan berat badan). Pedhet diberikan injeksi vitamin setelah pemberian obat cacing (program deworming), dengan harapan setelah infestasi cacing diberantas maka nutrisi dari makanan (grain dan hay) dan susu akan terserap lebih sempurna. Dengan asupan gizi yang optimal diimbangi kebutuhan vitamin yang terpenuhi maka pertumbuhan pedhet akan lebih sempurna. Harapan kita nilai jual bibit/ bakalan bisa meningkat minimal 1juta rupiah dari sebelum mengikuti program.
            Smart package untuk si pedhet demikian kita menyebut program kami. Paket ini terdiri dari Paket Hemat dan Paket Plus, tergantung kondisi ekonomi peternak. Paket ini bisa untuk pedhet jantan maupun betina. Paket hemat terdiri dari pemberian obat cacing 1 dosis untuk pedhet usia 10 hari, 1 dosis untuk usia 3 bulan dengan anthelmentik albendazol atau piperazine dan 1 kali injeksi vitamin A,D,E yang kita lakukan bisa saat usia 1 bulan atau 3 bulan. Biaya untuk paket ini berkisar 50 ribu rupiah ((2x10 ribu)+(1x30 ribu)). Tidak mahal apalagi untuk jangka waktu hingga pedhet usia 3 bulan. Untuk paket Plus, terdiri dari pemberantasan cacing (deworming), pemberantasan parasit internal dan external dan injeksi vitamin A,D,E. Sama dengan paket hemat tetapi disini ada tambahan treatmen  terhadap parasit internal dan external dengan memberikan injeksi “ivermectin”, sehingga semua parasit baik dalam stadium dewasa atau larva dapat terbasmi semua. Karena Plus maka ada tambahan biaya berkisar 40 ribu rupiah. Lumayan...
            “tung hitung-hitung” akhirnya peternak sendiri yang menentukan akan dibawa kemana usahanya ini, mau biasa apa adanya atau lebih dari biasanya. Peternak akan senang dan tertarik apabila kita terbuka mengenai biaya. Dengan tahu jumlah biaya yang harus dikeluarkan peternak dapat mengukur sendiri kemampuan mereka.
            Banyak jalan menuju Roma, tapi tentunya kita juga tidak akan mengotori jalan yang kita lewati, melainkan akan kita hiasi jalan itu dengan sesuatu yang bermanfaat yang harum baunya hingga tercium sampai  Roma. Tujuan bukan utama yang utama adalah prosesnya...selamat berkarya.... 

Rabu, 03 April 2013

LEPTOSPIROSIS PADA SAPI






Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum pada berbagai spesies hewan peliharaan, ditemukan juga pada berbagai hewan liar, terutama pada binatang pengerat, yang biasanya berlaku sebagai hewan pembawa penyakit, merupakan penyakit bersifat zoonosis. Disebabkan oleh leptospira interrogans dengan berbagai serotype.
            Pada sapi, serovar yang paling banyak menyerang adalah dari tipe L. Pomona dan L. hardjo, dengan akibat yang bermacam-macam. Penyakit yang ditimbulkan oleh L. Pomona dapat berlangsung akut, subakut dan kronik.
Gejala yang dapat diamati pada tipe akut adalah berupa sepsis yang berat, adanya demam yang tinggi ( sampai dengan 410 C), gejala seperti anoreksia dan kelesuan. Tipe subakut biasanya lebih ringan, demam yang ditimbulkan tidak terlalu tinggi, anoreksia, kelesuan juga tidak ditemukan. Pada hewan-hewan betina yang sedang dalam masa bunting dapat ngalami keguguran setelah beberapa minggu. Sedangkan hewan yang sedang dalam masa produksi akan mengalami penurunan air susu secara mendadak dan mencolok. Air susu yang keluar dapat juga tercampur dengan darah ataupun berwarna kuning. Sedangkan pada penyakit yang kronis Penyakit kronik gejala yang timbul lebih ringan dibandingkan dengan bentuk-beentuk yang lain. Keguguran atau keluron dapat terjadi pada trimester kedua atau separoh dari masa kebuntingan. Meskipun tanpa disertai dengan gejala klinis, namun penderita bersifat sero-positif dalam pemeriksaan serologik.
Patogenesis dari Leptospirosis diawali dengan Lepstospira yang memasuki tubuh melalui selaput lendir, luka-luka pada kulit yang menjadi lebih lunak karena terkena air. Selanjutnya kuman tersebut akan terbawa ke berbagai bagian tubuh dan akan memperbanyak diri di hati, ginjal, kelenjar susu dan otak.organisme tersebut dapat ditemukan di dalam maupun di luar jaringan yang terkena. Pada beberapa hari setelah infeksi dapat ditemukan adanya fase leptospiremia (biasanya terjadi pada minggu pertama). Beberapa serovar akan menghasilkan endotoksin, sedangkan serovar yang lain akan menghasilkan hemolisin, yang berguna untuk merusak dinding kapiler darah hewan penderita. Pada reaksi yang berkepanjangan reaksi imunologik dapat timbul dan memperparah kerusakan jaringan. Kematian penderita leptospirosis karena adanya septisemia, anemia hemolitika, kerusakan hati beratnya penderitaan akan bervariasi tergantung dari umur dan spesies hewan penderita, serta jenis kuman leptospira itu sendiri.
            Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan hati yang sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan suntikan streptomisin maupun oksitetrasiklin. Untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung kemih penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi pemberian secara intramuskuler.
Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa kedua obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia yang disebabkan oleh leptospirosis.

Rabies




RABIES

Rabies  (penyakit  anjing  gila)  adalah  penyakit  hewan  yang  disebabkan  oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke  manusia  dan  menyebabkan  kematian  pada  manusia  dengan  CFR  (Case  Fatality Rate)  100%.  Virus  rabies  dikeluarkan  bersama  air  liur  hewan  yang  terinfeksi  dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan. Virus  rabies  merupakan  virus  RNA,  termasuk  dalam  familia  Rhabdoviridae, genus  Lyssa.
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1. Stadium Prodromal
Keadaan  ini  merupakan  tahapan  awal  gejala  klinis  yang  dapat  berlangsung antara  2-3  hari.  Pada  tahap  ini  akan  terlihat  adanya  perubahan  temperamen  yang masih  ringan.  Hewan  mulai  mencari  tempat-tempat  yang  dingin/gelap,  menyendiri, reflek  kornea  berkurang,  pupil  melebar  dan  hewan  terlihat  acuh  terhadap  tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan. 
2. Stadium Eksitasi
Tahap  eksitasi  berlangsung  lebih  lama  daripada  tahap  prodromal,  bahkan dapat  berlangsung  selama  3-7  hari.    Hewan  mulai  garang,  menyerang  hewan  lain ataupun  manusia  yang  dijumpai  dan  hipersalivasi.  Dalam  keadaan  tidak  ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan  mengalami  fotopobi  atau  takut  melihat  sinar  sehingga  bila  ada  cahaya  akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan. 
 3. Stadium Paralisis.
Tahap  paralisis  ini  dapat  berlangsung  secara  singkat,  sehingga  sulit  untuk dikenali  atau  bahkan  tidak  terjadi  dan  langsung  berlanjut  pada  kematian.  Hewan mengalami  kesulitan  menelan,  suara  parau,  sempoyongan,  akhirnya  lumpuh  dan mati.
Type Rabies pada Anjing :
a.  Rabies Ganas
-  Tidak menuruti lagi perintah pemilik.
-  Air liur keluar berlebihan
-  Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
-  Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
b.  Rabies Tenang
-  Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.
-  Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
-  Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.
-  Kematian terjadi dalam waktu singkat.
Penanganan rabies, untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
-  Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.
-  Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
-  Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau kucing yang  tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya). Berdasarkan pengalaman di  lapangan, anjing  menggigit  lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang  kemudian  specimen  otaknya  diperiksa  dilaboratorium  hasilnya  adalah  positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut :
-  Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %.
-  Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50 %.
-  Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75 %.
-  Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100 %.

Pencegahan Dan Pengendalian Rabies
a.  Pencegahan Primer
1.      Tidak  memberikan  izin  untuk  memasukkan  atau  menurunkan  anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies. 
2.      Memusnahkan anjing,  kucing,  kera  atau hewan sebangsanya yang  masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies. 
3.      Dilarang  melakukan  vaksinasi  atau  memasukkan vaksin  rabies  kedaerah-daerah bebas rabies. 
4.      Melaksanakan  vaksinasi  terhadap  setiap  anjing,  kucing  dan  kera,  70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus. 
5.      Pemberian  tanda  bukti  atau  pening  terhadap  setiap  kera,  anjing,  kucing yang telah divaksinasi. 
6.      Mengurangi  jumlah  populasi  anjing  liar  atan  anjing  tak  bertuan  dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. 
7.      Anjing  peliharaan,  tidak  boleh  dibiarkan  lepas  berkeliaran,  harus didaftarkan  ke  Kantor  Kepala  Desa/Kelurahan  atau  Petugas  Dinas Peternakan setempat.
8.      Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.  Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai  tidak  lebih  dari  2  meter  dan  moncongnya  harus  menggunakan berangus (beronsong).
9.      Menangkap  dan  melaksanakan  observasi  hewan  tersangka  menderita rabies,  selama  10  sampai  14  hari,  terhadap  hewan  yang  mati  selama observasi  atau  yang  dibunuh,  maka  harus  diambil  spesimen  untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. 
1.  Mengawasi  dengan  ketat  lalu  lintas  anjing,  kucing,  kera  dan  hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
1.  Membakar  dan  menanam  bangkai  hewan  yang  mati  karena  rabies sekurang-kurangnya 1 meter.
b.  Pencegahan Sekunder
Pertolongan  pertama  yang  dapat  dilakukan  untuk  meminimalkan resiko  tertularnya  rabies  adalah  mencuci  luka  gigitan  dengan  sabun  atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah  air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas  atau  Dokter  yang  terdekat  untuk  mendapatkan  pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang  yang  mengidap rabies  sangat  besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh  anjing  di  daerah  endemic  rabies  harus  sedini  mungkin  mendapat pertolongan  setelah  terjadinya  gigitan  sampai  dapat  dibuktikan  bahwa  tidak benar adanya infeksi rabies.
c.  Pencegahan Tersier
Tujuan  dari  tiga  tahapan  pencegahan  adalah  membatasi  atau menghalangi  perkembangan  ketidakmampuan,  kondisi,  atau  gangguan sehingga  tidak  berkembang  ke  tahap  lanjut  yang  membutuhkan  perawatan intensif  yang  mencakup  pembatasan  terhadap  ketidakmampuan  dengan menyediakan  rehabilitasi.  Apabila  hewan  yang  dimaksud  ternyata  menderita rabies  berdasarkan  pemeriksaan  klinis  atau  laboratorium  dari  Dinas Perternakan,  maka  orang  yang  digigit  atau  dijilat  tersebut  harus  segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.

Pengendalian
a.  Aturan Perundangan
Upaya  pencegaan  dan  pengendalian  rabies  telah  dilakukan  sejak  lama,  di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan  adanya  Surat  Keputusan  Bersama  3  Menteri  yaitu  Menteri  Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978.  Penerapan  aturan  perundangan  ini  perlu  ditegakkan,  agar  pelaksanaan  di lapangan  lebih  efektif  dan  secara  tegas  memberikan  otoritas  kepada  pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.
b.  Surveilans
 Pelaksanaan  surveilans  untuk  rabies  merupakan  dasar  dari  semua  program dalam  rangka  pengendalian  penyakit  ini.  Data  epidemiologi  harus  dikumpulkan sebaik  mungkin,  dianalisis,  dipetakan,  dan  bila  mungkin  segera  didistribusikan secepat  mungkin.  Informasi  ini  juga  penting  untuk  dasar  perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.
 c.  Vaksinasi Rabies
 Untuk  mencegah terjadinya penularan rabies, maka  anjing,  kucing, atau  kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas  vaksin  yang  efektif  dan  efisien,  ada  beberapa  persyaratan  yang  harus dipenui, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
  Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
  Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
  Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
  Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.
  Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
  Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

Anthraks pada ternak




Antraks

Penyakit Antraks Radang Limpa adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis, dapat menyerang semua hewan berdarah panas termasuk unggas dan manusia. Bakteri penyebab penyakit antraks ini dapat membentuk spora dan bertahan dalam tanah untuk waktu yang sangat lama. Hal inilah yang seringkali menyebabkan suatu daerah menjadi endemik.
Gejala klinis penyakit ada empat bentuk yaitu per akut, akut, kronis dan kutan.
1.      Bentuk per akut (sangat mendadak)
Gejalanya sangat mendadak, hewan mendadak mati dengan perdarahan diotak. Bentuk ini sering terjadi pada domba dan kambing dengan perubahan apopleksi serebral, hewan berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang kumlah.
2.      Bentuk akut
Gejala penyakit bermula demam (pada kuda mencapai 41,5 derajat dan sapi 42 derajat celcius), gelisah, depresi, sesak nafas, detak jantung cepat tetapi lemah, hewan kejang kemudian mati. Pada sapi gejala umum adalah pembengkakan sangat cepat di daerah leher, dada, sisi perut, pinggang dan kelamin luar. Dari lubang kumlah (telinga, hidung, anus, kelamin) keluar cairan darah encer merah kehitaman. Kematian terjadi antara 1-3 hari setelah tampak gejala klinis.
3.      Bentuk kronis
Terlihat lesi/luka lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan, biasanya menyerang ternak babi dan jarang pada sapi, kuda dan anjing. Penyakit berakhir setelah 10-36 jam atau kadang-kadang mencapai 2-5 hari tetapi pada sapi dapat berlangsung 2-3 bulan. 
4.      Bentuk Kutan
Ditandai dengan pembengkakan di macam-macam tempat dibagian tubuh. Terdapat pada sapi dan kuda, bila luka-luka atau lecet-lecet kulit dicemari oleh kuman anthraks.
Penanganan
Hewan penderita anthraks harus diasingkan sedemikian rupa terpisah dengan hewan lain, pengasingan sedapat mungkin di kandang atau di tempat hewan sakit. Dekat tempat tersebut dibuat lubang sedalam 2-3 meter untuk menampung sisa makanan dan tinja dari kandang hewan yang sakit/ menampung limbah asal hewan sakit. Bangi hewan yang mati karena anthraks harus segera dimusnahkan dengan dibakar hangus dalam lubang sedalam 2-3 meter kemudian dikubur, dicegah jangan sampai dimakan oleh hewan pemakan bangkai.
Hewan sakit jangan dikeluarkan dari tempatnya dan hewan dari luar jangan dimasukkan ke tempat tersebut. Hewan sakit atau tersangka sakit anthraks dilarang dipotong.
Hasil produksi hewan berupa susu, daging serta bahan asal hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lain yang berasal dari hewan penderita/mati karena anthraks samasekali tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan, dan harus dimusnahkan dengan jalan dibakar atau dikubur.
Pencegahan dan pengobatan
Pada daerah tertular atau daerah wabah vaksinasi dilakukan terhadap semua jenis hewan rentan yang terancam antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan babi. Sasaran vaksinasi pada daerah lokasi atau kantong wabah 100% dari seluruh populasi terancam, sedang pada daerah tertular lainnya minimal 90% dari populasi terancam.
Pada daerah terancam I yaitu daerah yang berada dekat atau berbatasan langsung dengan daerah tertular atau daerah wabah, sasaran vaksinasi adalah 80% populasi hewan rentan yang terancam.
Pada daerah terancam II yaitu daerah lain yang berbatasan langsung dengan daerah terancam I dilakukan vaksinasi 80% populasi hewan besar (kuda, sapi dan kerbau).
Vaksin yang sekarang banyak digunakan dalah vaksin spora avirulen dari Stern yang memiliki keamanan dan efektivitas tinggi. Vaksin tersebut dipersiapkan dari bakteri antraks yang tidak memiliki selubung. Vaksin teersebut merupakan vaksin hidup, sehingga pada pemberiannya tidak boleh dikombinasikan dengan pemberian antibiotika. Di daerah yang biasa terjadi penyakit antraks vaksinasi tahunan perlu diberikan.
            Pengobatan tidak hanya terhadap hewan sakit tetapi juga hewan tersangka atau diduga menderita anthraks dengan memberikan suntikan antibiotika secara intra muskuler (IM) selama 4-5 hari berturut-turut dengan peniciline atau oxytetracycline atau derivatnya. Untuk membunuh kuman yang mencemari lingkungan dilakukan desinfeksi (pencucian/penghapusan hama) menggunakan desinfektan.