MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI PERAH PADA
PETERNAKAN RAKYAT
Oleh:
drh. Ely Susanti
PENDAHULUAN
Sebagian besar kebutuhan susu
masyarakat Indonesia ditopang dari susu import. Data dari Direktorat Jenderal
Peternakan menunjukkan bahwa konsumsi nasional susu pada tahun 2009 adalah 11,6
kg susu/kapita/tahun. Jika dilihat dari angka tersebut terlihat masih sangat
kecil dibanding dengan negara-negara Asia lainnya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pemenuhan gizi masyarakat dari protein hewani terutama susu masih
rendah. Rendahnya konsumsi susu pada masyarakat kemungkinan disebabkan oleh
ketersediaan susu sangat sedikit sehingga harga tidak terjangkau oleh
masyarakat. Melihat kenyataan tersebut berarti peluang usaha di bidang
peternakan “perah” masih harus dikembangkan dan peluang pasarnya masih terbuka
luas.
Susu dapat kita peroleh dari
berbagai jenis ternak, dapat berasal dari susu kambing, kerbau, sapi bahkan
sekarang ada susu kuda. Paling umum dimasyarakat adalah susu yang diproduksi
oleh sapi perah. Usaha peternakan sapi perah sudah dikenal oleh masyarakat,
terutama pada daerah-daerah dataran tinggi. Sebagian besar yang ada di
Indonesia adalah peternakan rakyat dengan jumlah kepemilikan yang kecil antara
1 – 10 ekor sapi perah, sedangkan peternakan dalam skala usaha komersial dan
dengan manajemen profesional masih dapat dihitung dengan jari. Kondisi yang
demikian menuntut adanya pengembangan dan pembinaan peternakan sapi perah
rakyat agar produksi susunya dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
Indonesia sendiri.
Tantangan dalam peningkatan produksi
susu tidak akan lepas dari masalah manajemen pemeliharaan dan manajemen
reproduksinya. Dalam assay ini akan fokus pada manajemen reproduksi sapi perah.
Peternakan Sapi Perah Rakyat
Performan reproduksi sapi perah
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
faktor manajemen. Efisiensi reproduksi merupakan dasar utama memperoleh jumlah
produksi susu yang maksimal, ada beberapa hal yang saling berkaitan yaitu body condition, pakan, masa transisi
dari periode kering ke laktasi, siklus estrus normal, deteksi estrus dan
kelangsungan hidup embrio, selain itu perlu diperhatikan pula hal-hal yang
berhubungan dengan formulasi pakan, manajemen tempat pakan, kenyamanan kandang
yang dapat melindungi dalam suhu dan kelembaban ekstrem, kandang jepit
pemerahan, manajemen pemerahan, pencegahan terhadap mastitis, perhatian
terhadap estrus dan ovulasi dan diagnosa dini terhadap kegagalan bunting
(Diggins et al. 1954, and Bath et al. 1985).
Indonesia merupakan negara tropis
yang memiliki banyak faktor lingkungan yang merugikan bagi pengembangan
peternakan sapi perah, apalagi ditambah dengan pemilihan breed sapi perah Friesian Holstein yang dalam hal ini
merupakan breed sapi besar. Jika dibandingkan dengan negara 4 musim produksi
susu Friesian Holstein di Indonesia
akan jauh menurun, hal ini disebabkan oleh panjangnya masa anestrus post partum. Anestrus
post partum dapat disebabkan oleh
temperatur lingkungan daerah tropis yang terlalu panas, kualitas dan kuantitas
pakan (hijauan dan konsentrat) yang rendah diikuti body condotion yang buruk
(dibawah 3), penyakit reproduksi dan penyakit pada glandula mamaria yang relatif
tinggi di daerah tropis, penyakit-penyakit post
partum (hipokalsemia, sindrom sapi ambruk, milk fever dan lain-lain) dan
spesial di daerah tropis adalah merupakan tempat tumbuh suburnya berbagai macam
parasit sehingga tingkat infestasi parasit pada sapi perah juga cukup tinggi
yang menyebabkan performa sapi semakin buruk.
Faktor genetik sangat berpengaruh
terhadap performa reproduksi sapi perah, ada beberapa breed sapi perah yang ada yaitu ayrshire, guernsey, jersey, brown
swiss dan holstein. Awal dibudidayakannya sapi perah di Indonesia adalah sapi
perah jenis Friesian Holstein. Friesian Holstein merupakan jenis sapi
besar yang memiliki kemampuan produksi susu yang paling tinggi dibandingkan
jenis lainnya, tetapi Friesian Holstein
memiliki kelemahan jika dikembangkan didaerah tropis seperti di Indonesia
apalagi dengan model peternakan rakyat. Temperatur dan kelembaban daerah tropis
yang sangat tinggi menyebabkan penguapan yang berlebihan pada sapi ini sehingga
berakibat penurunan produksi susu dan stress pada sapi. Performa sapi yang
cukup besar menuntut pemenuhan kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai, hal
ini jauh dari harapan dengan kondisi model peternakan rakyat Indonesia yang
pada umumnya pakan sangat terbatas dan apa-adanya, sehingga Body condition scorring
( BCS) yang ada lebih rendah dari 2,5. Seiring dengan berjalannya waktu dan
pengalaman peternak Indonesia mulai mengembangkan sapi-sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH atau blandong
dalam istilah jawa) yang sebagian besar merupakan persilangan antara Friesian Holstein dengan sapi Peranakan
Ongole (PO). Performa PFH lebih kecil daripada Friesian Holstein tetapi
telah beradaptasi dengan lingkungan tropis dan model peternakan rakyat
Indonesia ( Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
Budidaya sapi perah PFH diharapkan
dapat mengurangi kelemahan-kelemahan pemeliharaan sapi perah pada daerah tropis
sehingga permasalahan-permasalahan tersebut diatas dapat diminimalisir.
Peningkatan produksi peternakan sapi perah rakyat dapat difokuskan pada
perbaikan manajemen reproduksi. Perbaikan manajemen reproduksi ini bertujuan
untuk memaksimalkan perolehan kebuntingan atau perolehan pedhet, yang
terpenting dalam hal ini adalah siklus estrus yang baik, calving interval dan penentuan waktu yang tepat dalam aplikasi
Inseminasi Buatan (IB). Untuk memaksimalkan efisiensi reproduksi diperlukan
manajemen calving interval yang
terdiri atas tiga komponen utama yaitu periode tunggu setelah partus pada
betina dewasa atau periode kawin pada sapi dara, periode IB, dan masa
kebuntingan (Stevenson, J.S. 2001). Dari ketiga komponen tersebut masing-masing
memiliki tahapan-tahapan penting yang sangat berpengaruh terhadap proses
reproduksi.
MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI PERAH
Nutrisi
Nutrisi
merupakan faktor yang berhubungan dengan fertilitas seekor hewan. Nutrisi
diperlukan untuk berjalannya reproduksi seperti halnya nutrisi dibutuhkan untuk
pertumbuhan tubuh dan pada masa laktasi. Kekurangan nutrisi pada sapi perah
betina dapat menyebabkan masa pubertas terlambat, asumsi untuk sapi dara adlah
umur 15 bulan sudah birahi tetapi dapat mundur sampai dengan 20 bulan. Pada
sapi perah masa laktasi seringkali terjadi nutrisi yang sangat kurang karena
pada masa tersebut nutrisi diperlukan untuk produksi susu, akibatnya nutrisi
untuk reproduksi sangat minimal, berat
badan menurun, terlambatnya estrus pertama post
partus, menurunkan conception rates, dan
besarnya kejadian silent estrus ( Dillon
et al. 2003, Benson et al. 2004).
Energi dan protein mutlak dibutuhkan
untuk perkembangan reproduksi baik dalam bentuk pakan kering maupun hijauan.
Malnutrisi pada reproduksi menyebabkan hewan menjadi lebih kecil dari ukuran
normal/kerdil, ovarium tidak berkembang normal sehingga terjadi siklus estrus
yang tidak teratur dan fertilitas rendah. Selain energi dan protein nutrisi
lain yang perlu terpenuhi adalah vitamin dan mineral. Kekurangan vitamin A
dapat menyebabkan kelahiran pedhet yang lemah atau bahkan kematian fetus dan
retensi plasenta. Defisiensi vitamin D menyebabkan siklus estrus yang tidak
tentu dan pedhet yang dilahirkan menderita rickets.
Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal, pemberian vitamin E
dan selenium pada sapi bunting dapat menurunkan kejadian retensi plasenta. Kecambah
dan minyak gandum dapat dijadikan sumber vitamin E untuk menjaga reproduksi
norma (Bath et al. 2985).
Kejadian paling sering pada sapi
perah adalah defisiensi mineral terutama pospor yang sangat berpengaruh
terhadap status reproduksi. Defisiensi pospor dapat menyebabkan pubertas
terlambat, siklus estrus terhenti dan menurunkan conception rate. Pakan dengan campuran tepung tulang dengan
campuran konsentrat padi dapat memperbaiki defisiensi pospor. Mineral lain yang
penting untuk reproduksi adlah cobalt,
copper, iodine dan mangane,
mineral-mineral ini biasanya sudah terpenuhi dalam sediaan garam dalam pakan
dan pakan polong-polongan (Bath et al. 2985). Nutrisi mutlak terpenuhi untuk
sapi perah untuk produksi susu yang tinggi dan efisiensi reproduksi.
Program Manajemen Untuk Reproduksi yang
Optimal
Masa Istirahat Post Partus
Idealnya
agar mendapatkan produksi susu yang tinggi calving
interval pada sapi perah dara adalah 13 bulan dan 12 bulan untuk
selanjutnya. Pada kenyataannya di peternakan rakyat calving interval dapat mencapai 15-18 bulan, pada sapi-sapi produksi
tinggi sering tidak segera estrus kembali setelah partus. Masa istirahat yang
diperlukan setelah partus antara 40-70 hari. Masa istirahat ini adalah masa
involusi uterus untuk persiapan kebuntingan berikutnya. Dalam beberapa
penelitian menyebutkan masa istirahat yang lebih panjang akan memperbaiki nilai
conception rate karena perbaikan
organ reproduksi yang lebih sempurna. Sapi dengan kondisi semua normal waktu
yang diperlukan untuk sempurnanya involusi uterus tidak lebih dari 40 hari,
hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah (Stevenson, J.S. 2001);
1. Masa periparturient.
Proses kelahiran memerlukan
perhatian, perawatan dan kebersihan, karena banyak hal yang akan terjadi
setelah kelahiran misalnya induk menjadi sakit atau sehat, produksi susu rendah
atau tinggi, siklus reproduksi kembali normal atau tidak normal, pedhet lahir
normal atau mengalami kelainan bahkan mungkin terjadi kematian. Pada masa ini
kebutuhan nutrisi sangat tinggi untuk kekuatan feto-plasenta, persiapan glandula mamaria, kekuatan induk untuk
melahirkan dan kekebalan induk dari berbagai penyakit.
2. Masa Sesudah Partus
Fokus perhatian diberikan
pada induk dan pedhetnya kurun waktu 1-2 minggu post partus, ditempatkan dalam kandang isolasi khusus untuk
monitoring setiap hari temperatur dan tanda-tanda kemungkinan sakit. Beberapa
suplement obat diberikan pada masa ini untuk menurunkan panas, involusi uterus,
tambahan energi, tambahan kalsium dan antibiotik sistemik.
3. Kembalinya Siklus Estrus
Siklus estrus normal
rata-rata 3 minggu (18-24 hari) pada sapi yang telah mencapai usia pubertas.
Pada sapi perah sering lebih bervariasi terutama setelah beranak. Gelombang
perkembangan folikel ovarium terjadi pada minggu pertama setelah partus, dan
folikel dominan pertama biasanya
diovulasikan.
Nafsu makan perlu diperbaiki
untuk memastikan terpenuhinya Diet intake
minimum normal, sapi yang sehat perlu menjaga nutrisi untuk produksi susu
yang maksimal, perkembangan folikel, berhasilnya ovulasi, sempurnanya involusi
uterus dan persiapan kebuntingan berikutnya. Sapi perah masa laktasi biasanya
mengalami keseimbangan energi yang negatif terutama terendah pada saat minggu
1-2 pasca beranak dan membaik dalam waktu yang bervariasi, kemudian ovulasi
pertama dapat terjadi pada 10-15 hari pasca kondisi terendah tersebut.
Dengan perbaikan intake pakan dan minum,
sapi perah akan kembali dalam keseimbangan energi yang baik dalam waktu 6-10
minggu setelah beranak. Sebagian besar dilaporkan bahwa ovulasi post partus pertama pada sapi perah
terjadi pada akhir bulan pertama setelah beranak, sehingga biasanya conception dapat terjadi dengan baik
pada ovulasi kedua post partus karena
involusi uterus telah sempurna dan energi telah seimbang.
Body Condition Score (BCS)
juga memiliki pengaruh dalam conception
dan jumlah keberhasilan IB. Beberapa hasil studi menjelaskan bahwa sapi-sapi
yang kehilangan 0,5 – 1,0 unit BCS pada post
partus masih memiliki conception yang lebih baik (IB pertama berhasil)
dibanding yang mengalami penurunan BCS > 1,0 unit. Untuk menjaga pemenuhan
BCS dan diet intake minimal serta
keseimbangan energi yang dibutuhkan, seekor sapi harus mengkonsumsi nutrisi
>4% berat badan setiap hari. Hal ini penting ditekankan pada peternak rakyat
karena kasus-kasus tidak kembalinya siklus estrus sangat tinggi sekali dan
rata-rata diakibatkan karena tidak terpenuhinya diet intake minimal.
4. Breeding Program
Breeding program atau
program perkawinan, dilaksanakan secara terkontrol, meliputi beberapa pekerjaan
penting yaitu;
1) Ada
petugas yang mengatur sebaik-baiknya jadwal pekerjaan dalam pemeliharaan sapi
perah terutama siklus reproduksinya. Memiliki recording yang jelas terhadap
masing-masing sapi, umur, tanggal birahi, tanggal dikawinkan, tanggal beranak,
dan lain-lain.
2) Pengawasan
terhadap deteksi estrus dan ovulasi yang akurat.
3) Pengetahuan
yang jelas mengenai tahapan-tahapan estrus sapi dan status reproduksi sapi.
4) Pengetahuan
tentang status kebuntingan sapi.
Targeted
Breeding Program. Merupakan program
sinkronisasi birahi, tujuannya untuk
membuat birahi yang serempak pada beberapa ekor sapi perah. Program ini
biasanya dilakukan bertujuan untuk efisiensi perawatan reproduksi sapi dan
mengoptimalkan produksi. Biasanya dilakukan dengan injeksi PGF2α,
yang diaplikasikan 2 kali berjarak 11-14 hari. Injeksi pertama hampir 50% sapi
menunjukkan estrus tetapi tidak dilakukan inseminasi. Setelah injeksi yang kedua kemudian dilakukan deteksi
estrus dan IB. Jika setelah injeksi kedua tidak terdeteksi estrus maka
dilakukan injeksi yang ketiga berselang 14 hari dari injeksi kedua dan
dilakukan IB pada 72-80 hari setelah injeksi PGF2α yang ketiga.
(Stevenson,
J.S, 2001)
Periode
Kawin
Pengamatan
terhadap tanda-tanda birahi sapi sangat penting dilakukan sesuai dengan jadwal
siklus reproduksi sapi, dengan tujuan mengetahui waktu yang tepat untuk
dilakukan IB atau kawin alami. Pengawasan paling tidak dilakukan 2 kali sehari
secara khusus dan ditambah pengawasan pada saat memberi pakan atau saat
pemerahan. Sapi perah birahi terjadi antara jam 16.00-18.00 dan 05.00-07.00,
untuk itu pengawasan pada saat malam hari juga perlu dilakukan. Exercise pada sapi betina perlu
dilakukan secara teratur agar terlihat aktifitas birahi seperti menaiki
temannya atau dinaiki temannya (Stevenson, J.S. 2001, Schefers at al. 2009).
1. Deteksi estrus
Pengetahuan
yang jelas mengenai tahapan-tahapan estrus sapi dan status reproduksi sapi. Tahap-tahap
tersebut adalah;
Tahap
1 adalah Pro estrus, merupakan tahapan dimana awal estrus, biasanya sapi mulai
gelisah, sedikit keluar lendir, vulva mulai membengkak, dalam kisaran waktu 0-4
atau 0-6 jam. Pada saat ini belum waktunya dikawinkan.
Tahap
2 adalah standing heat atau birahi,
ditandai dengan keluar lendir bening, vulva terlihat merah bengkak dan hangat,
diam jika dinaiki temannya, jinak jika didekati, sering melenguh, gelisah,
nafsu makan-minum menurun. Perkawinan akan berhasil jika dilakukan pada 10 jam
pertama setelah terlihat tanda-tanda birahi atau paling lambat 6 jam pertama setelah tanda-tanda birahi sudah
berakhir. Jika birahi diketahui pada saat pagi hari sebaiknya di IB sore hari
pada hari itu, jika birahi diketahui saat sore hari maka IB dilakukan pada pagi
hari dihari berikutnya.
Tahap
3 adalah Met estrus, berlangsung 3-4 hari pasca birahi. Pada tahap ini terjadi
ovulasi, ovulasi terjadi pada 24 jam- 32 jam sejak pro estrus. Biasanya 85%
dari periode birahi sapi dara dan 50% sapi induk berakhir dengan keluarnya
darah dari vulva.
Tahap
4 adalah Diestrus, masa ini merupakan masa antar birahi, berlangsung 12-18 hari
setelah Met estrus sampai ke periode Pro estrus. Pada tahap ini status
reproduksi tidak aktif.
Pada
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa deteksi estrus pada sapi perah
dengan produksi susu yang tinggi lebih sulit dilakukan, hal ini ekuivalen
antara rata-rata produksi susu dan rata-rata siklus estrus . Aktifitas birahi
jelas lebih terlihat pada tahap proestrus dan estrus, seperti menaiki dan
dinaiki temannya, aktifitas ini karena pengaruh estrogen (midcycle fungtional Corpus Luteum). Aktifitas birahi juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pada kandang yang terlalu rapat dan sapi
yang ditambat terus-menerus maka aktifitas ini menjadi berkurang. Maka exercise sangat penting pada sapi perah
untuk memastikan kondisi kaki dan performa tubuh yang sehat dan memudahkan
dalam deteksi birahi.
2. Alat Bantu Deteksi Estrus
Idealnya
untuk deteksi estrus mengikuti beberapa karakteristik yaitu; surveilans yang
terus berkelanjutan terhadap sapi, identifikasi estrus yang akurat dan
otomatis, sapi-sapi dalam masa produktif, peralatan kerja yang simpel, akurasi
dan efisiensi yang tinggi dalam identifikasi sehibungan dengan fisiologis
estrus dan ovulasi. Alat-alat yang biasanya digunakan adalah heat mount detector yang diletakkan di
pantat sapi, Activated (colored) KaMar
heat mount detector, tail paint, tail chalk, dan electronic gadgetry yang mahal lainnya. Berbagai alat tersebut
hanya membantu deteksi ketika tidak ada petugas yang dapat mengamati, karena
deteksi estrus yang paling akurat adalah dengan melakukan observasi langsung
(Stevenson, J.S. 2001, Bath at al. 1985).
3. Pemilihan bibit IB atau pejantan.
Recording
masing-masing sapi yang teratur sangat menguntungkan dalam pemilihan bibit.
Pencatatan ini harus didukung oleh peternak sebagai pemilik dan petugas
inseminasi, sehingga dapat dihindari kasus inbreeding
atau kawin dengan kerabat yang terlalu dekat. Untuk memperoleh keturunan sapi
perah yang baik biasanya dilakukan 2 sistem breeding
yaitu upgrading dan purebreeding,
keduanya berasal dari ras atau jenis yang sama dengan tujuan mempertahankan ras
dan produksinya (Diggins at al. 1954).
4. Konfirmasi Kebuntingan.
Setelah 21 hari sapi
yang telah di IB tidak menunjukkan gejala minta kawin lagi maka kemungkinan
telah terjadi kebuntingan. Konfirmasi kebuntingan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan oleh petugas khusus. Jika sapi tidak bunting setelah di IB atau
kawin alami lebih dari 3 kali maka perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter
hewan mengenai status kesehatan organ-organ reproduksinya. Tujuan dari
pemeriksaan ini adalah untu segera mengetahui penyebab gagalnya IB tersebut dan
melakukan penanganan (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
Kebuntingan dan Masa Kering
Body
Condition dan Berat Badan
Performa sapi perah pada masa laktasi berikutnya
tergantung kondisinya pada saat bunting dan masa kering. BCS sapi perah
menjelang masa kereing sebaiknya antara 3,25 – 3,75. Masa kritis BCS adalah
pada 100 hari masa laktasi, karena jika terlalu kurus maka akan banyak energi
yang dihabiskan untuk perbaikan kondisi tubuh selama laktasi dan selama masa
kering (Stevenson, J.S. 2001). Menjelang bunting kualitas pakan harus
diperhatikan agar pertumbuhan fetus dan induk terjaga baik, sehingga menjaga
kelancaran dan keamanan pada waktu beranak dan produksi susu yang baik
(Enevoldsen, at al. 1996). BCS dan berat badan yang rendah dapat menyebabkan
gangguan pada saat beranak seperti prolapsus, retensi plasenta, distokia dan
gangguan kesehatan lainnya sepeerti sindroma sapi ambruk, hipokalsemia, milk
fever dan lain-lain (Putro, P.P. 2009)
Masa
Kering
Pada masa kering yang
hal paling sering terjadi di peternakan rakyat adalah peternak kurang
memperthatikan masalah kebutuhan nutrisi sapi karena pada masa tersebut sapi
dianggap tidak menghasilkan. Kondisi inilah yang sering menyebabkan banyaknya
masalah pada sapi-sapi perah rakyat terutama pada saat bunting tua, saat
beranak, pasca beranak dan masalah kesehatan pedhet. Kebutuhan nutrisi yang
tidak terpenuhi disaat masa kritis tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat
besar bagi peternak, biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk menolong sapi
yang prolapsus, ambruk, distokia, pedhet yang lemah dan ditambah lagi siklus
reproduksi berikutnya yang tidak berjalan normal kembali (Stevenson, J.S. 2001,
Schefers at al. 2009).
Peternak perlu memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi saat masa
kering, karena nutrisi pada masa kering
dibutuhkan untuk perkembangan feto-plasental,
serta keseimbangan antara kebutuhan serat dan energi. Pada saat mendekati
partus kebutuhan energi lebih tinggi daripada kebutuhan serat .
Faktor-faktor Lain Yang Mempengaruhi
Reproduksi
Abnormalitas
Siklus Estrus
1)
Anestrus
Anestrus merupakan kondisi dimana
sapi perah tidak birahi, hal ini dapat disebabkan karena tidak berkembangnya
ovarium. Ovarium yang tidak berkembang dapat karena sebab malnutrisi atau
gangguan genetis. Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian
hormon gonadotropin terutama FSH dosis tinggi. FSH dapat menghasilkan
terjadinya ovulasi tetapi IB sebaiknya dilakukan pada estrus yang kedua (Putro,
P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
Retensi plasenta atau pyometra
biasanya juga menyebabkan terjadinya anestrus. Pada kondisi ini terjadi corpus luteum persistent dimana adanya
progesteron yang mencegah terjadinya estrus. Membersihkan plasenta dan pus
dalam uterus adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk menangani kasus
ini.
Corpus luteum persistent dengan cairan didalamnya juga menyebabkan
anestrus, atau pada kasus ini disebut cystic
ovary. Pengobatan pada kasus ini dapat dengan cara penekanan CL ini melalui
palpasi rektal. Cara ini juga sangat murah dan praktis tetapi perlu keahlian
khusus, karena jika terlalu berlebihan dapat menyebabkan kerusakan permanen
pada ovarium. Penanganan lainnya adalah dengan injeksi gonadotropin hormon
dengan LH dosis tinggi atau dosis kecil PGF2α atau estrogen.
2)
Ireguler
Siklus Estrus
Sapi
perah normal memiliki siklus estrus antara 18-24 hari. Pada sapi perah
kadang-kadang terjadi iregular siklus
estrus yang tidak diketahui penyebabnya. Penyakit – penyakit infeksi pada
saluran reproduksi patut dicurigai bila sapi menunjukkan siklus estrus yang
tidak normal. Catatan siklus reproduksi sangat penting dalam hal ini untuk
membantu diagnosa penyebab ireguler siklus estrus.
3)
Silent
Heat/ Silent Estrus
Kurang
lebih ada 15-25% sapi perah pada saat ovulasi tidak menunjukkan tanda-tanda
birahi yang jelas, sehingga menjadi masalah dalam deteksi estrus terutama pada
sapi-sapi post partus dan menjelang pubertas. Peternak seringkali
tidak melihat tanda-tanda birahi karena durasi birahinya yang pendek, birahi
pada malam hari atau alat bantu deteksi birahi yang tidak berjalan baik. Jika
sapi perah memiliki kebiasaan demikian maka akan lebih efektif deteksi estrus
dengan menggunakan pejantan (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
4)
Nymphomania/
Constant Estrus
Minta kawin yang terus-menerus,
ada perpanjangan masa estrus. Penyebabnya adalah cystic ovary atau folicular cystic. Satu pengobatan yang utama
adalah injeksi LH, setelah injeksi LH biasanya akan diikuti dengan luteinization dari dinding folikel
sehingga siklus estrus kembali normal dan konsepsi biasanya terjadi pada estrus
berikutnya. Kasus cystic ovary atau
folicular cystic pada beberapa penelitian menyebutkan berhubungan dengan
jumlah produksi susu, walaupun tidak
secara langsung (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
Pencegahan
Penyakit
Dalam pemeliharaan
sapi perah sejak awal penting diperhatikan masalah genetisnya. Memilih sapi
dengan produksi tinggi memiliki catatan kesehatan yang baik lebih diutamakan
untuk efisiensi biaya produksi. Manajemen kesehatan sapi terlihat sangat
bernilai ekonomi terutama pada peternakan berskala besar, meskipun demikian
pada peternakan rakyat harus memahami pentingnya nilai kesehatan ternak yang
akan berimbas pada jumlah produksi, reproduksi dan biaya pengobatan. Hal-hal
yang perlu diprogramkan dalam peternakan sapi perah yaitu; vaksinasi bagi
sapi-sapi baru, pemberantasan cacing, kontrol terhadap mastitis, perawatan
kuku, pengecekan reproduksi dan pemeriksaan sampel darah, sampel jaringan pada
kasus-kasus penyakit yang tidak diketahui.
IB
teknik, Handling dan Timing
Menurut Stevenson, J.S. 2001, Schefers at al. 2009 dan Enevoldsen at
al.1996. Teknik IB mungkin merupakan penyebab atau juga tidak sebagai penyebab
gagalnya inseminasi. Titik kritis dari teknik IB adalah penempatan semen pada
badan uterus, karena hanya sedikit sperma motil yang mampu mencapai oviduk jika
semen hanya ditempatkan dicervix dibanding di uterus.
Handling semen juga sangat penting karena membran sperma
merupakan bagian yang paling rapuh, mudah sekali mengalami cold and heat shocked. Dalam handling semen perlu mengikuti
petunjuk yang aman dalam pengambilan, thawing, transportasi, dan menjaga semen
aman masuk kedalam sapi. Teknik handling yang harus diikuti adalah saat
memindahkan straw harus dijagajangan sampai melalui garis beku dalam kontainer,
thawing straw pada air hangat suhu 37⁰C dalam waktu paling tidak 40 detik.
Thawing pada suhu yang tepat adalah titik kritis dalam handling semen.
Ketepatan waktu pada IB adalah dimana sperma dapat
mencapai oviduk tepat saat ovulasi. Jika handling dari frozen-thawing semen
dilakukan secara baik maka waktu hidup sperma diperkirakan <48 jam didalam
oragan reproduksi betina.Sperma membutuhkan waktu untuk mencapai kornu uterin
ke uterotubal junction dan masuk ke oviduk, dan mencapai proses maturasi yang
disebut kapasitasi. Berdasarkan pada program deteksi estrus maka IB dilakukan
12 jam setelah deteksi estrus pertama diketahui. Pada kenyataannya kita tidak
tahu riil waktu kapan estrus dimulai, tetapi rata-rata betina terdeteksi estrus
dalam waktu ± 6 jam, jadi ketika di IB 12 jam setelah terdeteksi perkawinan terjadi ± 18 jam setelah estrus.
Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa rata-rata konsepsi terjadi pada sapi
perah yang estrus pagi hari dan di IB sore hari lebih besar (52%) daripada yang
estrus sore hari dan di IB pagi harinya (47%). Berdasarkan adanyakenaikan
progesteron, 13-19% sapi di IB pada saat tidak estrus. IB pada sapi bunting
akan menyebabkan terjadinya abortus. Pada sapi perah bunting ± 10% menunjukkan
tanda-tanda estrus. Untuk mencegah dan mengurangi terjadinya abortus pada sapi
tersebut, semen sebaiknya diletakkan pada pertengahan cervix, hal ini juga
memberikan peluang untuk terjadinya konsepsi jika ternyata sapi tersebut
benar-benar estrus.
Mastitis
Klinis dan Abortus
Infeksi glandula
mamaria merupakan predisposisi hilangnya kesempatan bunting akibat siklus
luteal normal yang tergangggu. Sapi dengan kasus mastitis pada 45 hari pertama postpartus memiliki nilai 2,7 kali lebih
besar terjadi abortus dibanding yang tidak menderita mastitis.Hasil dari sebuah
penelitian menunjukkan mekanisme mastitis yang berhubungan dengan kebuntingan
adalah karena adanya sekresi PGF2α. Faktanya adalah; 1. Kuartir
percobaan yang mengandung mastitis coliform memiliki konsentrasi PGF2α yang
lebih besar daripada kuartir kontrol, 2. Infusi endotoxin intravena
meningkatkan konsentrasi prostaglandin dalam plasma darah, thromboxane B2 dan
kortisol, dimana konsentrasi progesteron menurun (Stevenson, J.S, 2001)
Distokia
Kesulitan beranak
pada sapi perah yang paling umum disebabkan oleh abnormalitas presentasi fetus.
Abnormalitas presentasi tersebut misalnya kaki terlipat kedalam, kepala
terpuntir kekanan atau kekiri, keatas atau kebawah dan lain-lain. Pada kondisi
seperti ini sebaiknya dibantu oleh dokter hewan untuk mengembalikan posisi
presentasi fetus ke posisi normal, jika hal tersebut tidak dimungkinkan dapat
dibantu dengan operasi sesar atau melakukan pemotongan fetus untuk tujuan
menyelamatkan induknya. Distokia juga dapat disebabkan karena fetus yang
terlalu besar sebagai akibat dari fetal monster, induk betina ras kecil di IB
dengan pejantan ras besar, atau bunting yang panjang (Bath et al., 1985).
Kasus distokia pada umumnya terjadi pada sapi-sapi dara
atau pertama kali bunting. Pada umumnya untuk mencegah distokia peternak
mengawinkan sapi dara mereka dengan pejantan ras kecil terlebih dahulu. Akibat
dari kasus distokia biasanya diikuti dengan prolapsus uteri maupun vagina.
Prolapsus ini dapat direposisi kembali oleh dokter hewan dan siklus reproduksi
dapat kembali normal. Kenyataan yang terjadi dipeternakan adalah jika sapi
sudah pernah mengalami distokia kemudian terjadi prolapsus biasanya akan
berulang pada pada kebuntingan berikutnya, maka sering diputuskan untuk
mengeluarkan atau culling terhadap
sapi-sapi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bath, D.L.,
Dickinson, F.N., Tucker, H.A., Appleman, R.D. 1985. Dairy Cattle: Principles,
Practices, Problems, Profits. 3rd ed. Lea & Febiger Philadelphia.
Benson, G.J. and
Rollin, B.E. 2004. The Well-Being of Farm Animals Challenges and Solutions.
Blackwell Publishing.
Dillon, P., Snijders,
S., Buckley, F., Harris, B., O’Connor, P. and Mee, J.F. 2003. Acomparison of
different dairy cow breeds on seassonal grass-based system of milk production
2. Reproduction and survival. Livestock Production Science 83 (2003) 35-42.
Diggins, R.V. and
Bundy, C.E. 1954. Dairy Production. 2nd Ed. Prentice-Hall, Inc. Englewood
Cliffs, N.J.
Enevoldsen, C.,
Hindhede, J. And Kristensen, T. 1996. Dairy Herd Management Types Assessed from
Indicators of Health, reproduction, Replacement, and Milk Production. J. Dairy
Sci. 79:1221-1236.
Putro, P.P. 2009. Manajemen Kesehatan dan
Reproduksi Sapi Perah. Hand Out Kuliah. Bagian Reproduksi dan Obstetri FKH UGM
Schefers, J.M.,
Weigel, K.A., Rawson, C.L., Zwald, N.R. and Cook, N.B. 2010. Management
practices associated with conception rate and service rate of lactating
Holstein cows in large, commercial dairy herds. J.Dairy Sci. 93: 1459-1467.
Stevenson, J.S. 2001. Reproductive Management of Dairy Cows
in High Milk-Producing Herds. J. Dairy Sci. 84 (E. Suppl.):E128-E143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar