Minggu, 05 Mei 2013

manajemen sapi perah







MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT
Oleh: drh. Ely Susanti
PENDAHULUAN
            Sebagian besar kebutuhan susu masyarakat Indonesia ditopang dari susu import. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan bahwa konsumsi nasional susu pada tahun 2009 adalah 11,6 kg susu/kapita/tahun. Jika dilihat dari angka tersebut terlihat masih sangat kecil dibanding dengan negara-negara Asia lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan gizi masyarakat dari protein hewani terutama susu masih rendah. Rendahnya konsumsi susu pada masyarakat kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan susu sangat sedikit sehingga harga tidak terjangkau oleh masyarakat. Melihat kenyataan tersebut berarti peluang usaha di bidang peternakan “perah” masih harus dikembangkan dan peluang pasarnya masih terbuka luas.
            Susu dapat kita peroleh dari berbagai jenis ternak, dapat berasal dari susu kambing, kerbau, sapi bahkan sekarang ada susu kuda. Paling umum dimasyarakat adalah susu yang diproduksi oleh sapi perah. Usaha peternakan sapi perah sudah dikenal oleh masyarakat, terutama pada daerah-daerah dataran tinggi. Sebagian besar yang ada di Indonesia adalah peternakan rakyat dengan jumlah kepemilikan yang kecil antara 1 – 10 ekor sapi perah, sedangkan peternakan dalam skala usaha komersial dan dengan manajemen profesional masih dapat dihitung dengan jari. Kondisi yang demikian menuntut adanya pengembangan dan pembinaan peternakan sapi perah rakyat agar produksi susunya dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sendiri.
            Tantangan dalam peningkatan produksi susu tidak akan lepas dari masalah manajemen pemeliharaan dan manajemen reproduksinya. Dalam assay ini akan fokus pada manajemen reproduksi sapi perah.

Peternakan Sapi Perah Rakyat
            Performan reproduksi sapi perah dipengaruhi oleh faktor  lingkungan dan faktor manajemen. Efisiensi reproduksi merupakan dasar utama memperoleh jumlah produksi susu yang maksimal, ada beberapa hal yang saling berkaitan yaitu body condition, pakan, masa transisi dari periode kering ke laktasi, siklus estrus normal, deteksi estrus dan kelangsungan hidup embrio, selain itu perlu diperhatikan pula hal-hal yang berhubungan dengan formulasi pakan, manajemen tempat pakan, kenyamanan kandang yang dapat melindungi dalam suhu dan kelembaban ekstrem, kandang jepit pemerahan, manajemen pemerahan, pencegahan terhadap mastitis, perhatian terhadap estrus dan ovulasi dan diagnosa dini terhadap kegagalan bunting (Diggins et al. 1954, and Bath et al. 1985).
            Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki banyak faktor lingkungan yang merugikan bagi pengembangan peternakan sapi perah, apalagi ditambah dengan pemilihan breed sapi perah Friesian Holstein yang dalam hal ini merupakan breed sapi besar. Jika dibandingkan dengan negara 4 musim produksi susu Friesian Holstein di Indonesia akan jauh menurun, hal ini disebabkan oleh panjangnya masa anestrus post partum. Anestrus post partum  dapat disebabkan oleh temperatur lingkungan daerah tropis yang terlalu panas, kualitas dan kuantitas pakan (hijauan dan konsentrat) yang rendah diikuti body condotion yang buruk (dibawah 3), penyakit reproduksi dan penyakit pada glandula mamaria yang relatif tinggi di daerah tropis, penyakit-penyakit post partum (hipokalsemia, sindrom sapi ambruk, milk fever dan lain-lain) dan spesial di daerah tropis adalah merupakan tempat tumbuh suburnya berbagai macam parasit sehingga tingkat infestasi parasit pada sapi perah juga cukup tinggi yang menyebabkan performa sapi semakin buruk.
            Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap performa reproduksi sapi perah, ada beberapa breed sapi perah yang ada yaitu ayrshire, guernsey, jersey, brown swiss dan holstein. Awal dibudidayakannya sapi perah di Indonesia adalah sapi perah jenis Friesian Holstein. Friesian Holstein merupakan jenis sapi besar yang memiliki kemampuan produksi susu yang paling tinggi dibandingkan jenis lainnya, tetapi Friesian Holstein memiliki kelemahan jika dikembangkan didaerah tropis seperti di Indonesia apalagi dengan model peternakan rakyat. Temperatur dan kelembaban daerah tropis yang sangat tinggi menyebabkan penguapan yang berlebihan pada sapi ini sehingga berakibat penurunan produksi susu dan stress pada sapi. Performa sapi yang cukup besar menuntut pemenuhan kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai, hal ini jauh dari harapan dengan kondisi model peternakan rakyat Indonesia yang pada umumnya pakan sangat terbatas dan apa-adanya, sehingga Body condition  scorring ( BCS) yang ada lebih rendah dari 2,5. Seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman peternak Indonesia mulai mengembangkan sapi-sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH atau blandong dalam istilah jawa) yang sebagian besar merupakan persilangan antara Friesian Holstein dengan sapi Peranakan Ongole (PO). Performa PFH lebih kecil daripada Friesian Holstein  tetapi telah beradaptasi dengan lingkungan tropis dan model peternakan rakyat Indonesia ( Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
            Budidaya sapi perah PFH diharapkan dapat mengurangi kelemahan-kelemahan pemeliharaan sapi perah pada daerah tropis sehingga permasalahan-permasalahan tersebut diatas dapat diminimalisir. Peningkatan produksi peternakan sapi perah rakyat dapat difokuskan pada perbaikan manajemen reproduksi. Perbaikan manajemen reproduksi ini bertujuan untuk memaksimalkan perolehan kebuntingan atau perolehan pedhet, yang terpenting dalam hal ini adalah siklus estrus yang baik, calving interval dan penentuan waktu yang tepat dalam aplikasi Inseminasi Buatan (IB). Untuk memaksimalkan efisiensi reproduksi diperlukan manajemen calving interval yang terdiri atas tiga komponen utama yaitu periode tunggu setelah partus pada betina dewasa atau periode kawin pada sapi dara, periode IB, dan masa kebuntingan (Stevenson, J.S. 2001). Dari ketiga komponen tersebut masing-masing memiliki tahapan-tahapan penting yang sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi.

MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI PERAH
Nutrisi
            Nutrisi merupakan faktor yang berhubungan dengan fertilitas seekor hewan. Nutrisi diperlukan untuk berjalannya reproduksi seperti halnya nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan pada masa laktasi. Kekurangan nutrisi pada sapi perah betina dapat menyebabkan masa pubertas terlambat, asumsi untuk sapi dara adlah umur 15 bulan sudah birahi tetapi dapat mundur sampai dengan 20 bulan. Pada sapi perah masa laktasi seringkali terjadi nutrisi yang sangat kurang karena pada masa tersebut nutrisi diperlukan untuk produksi susu, akibatnya nutrisi untuk reproduksi sangat minimal,  berat badan menurun, terlambatnya estrus pertama post partus, menurunkan conception rates, dan besarnya kejadian silent estrus ( Dillon et al. 2003, Benson et al. 2004).
            Energi dan protein mutlak dibutuhkan untuk perkembangan reproduksi baik dalam bentuk pakan kering maupun hijauan. Malnutrisi pada reproduksi menyebabkan hewan menjadi lebih kecil dari ukuran normal/kerdil, ovarium tidak berkembang normal sehingga terjadi siklus estrus yang tidak teratur dan fertilitas rendah. Selain energi dan protein nutrisi lain yang perlu terpenuhi adalah vitamin dan mineral. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kelahiran pedhet yang lemah atau bahkan kematian fetus dan retensi plasenta. Defisiensi vitamin D menyebabkan siklus estrus yang tidak tentu dan pedhet yang dilahirkan menderita rickets. Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal, pemberian vitamin E dan selenium pada sapi bunting dapat menurunkan kejadian retensi plasenta. Kecambah dan minyak gandum dapat dijadikan sumber vitamin E untuk menjaga reproduksi norma (Bath et al. 2985).
            Kejadian paling sering pada sapi perah adalah defisiensi mineral terutama pospor yang sangat berpengaruh terhadap status reproduksi. Defisiensi pospor dapat menyebabkan pubertas terlambat, siklus estrus terhenti dan menurunkan conception rate. Pakan dengan campuran tepung tulang dengan campuran konsentrat padi dapat memperbaiki defisiensi pospor. Mineral lain yang penting untuk reproduksi adlah cobalt, copper, iodine dan mangane, mineral-mineral ini biasanya sudah terpenuhi dalam sediaan garam dalam pakan dan pakan polong-polongan (Bath et al. 2985). Nutrisi mutlak terpenuhi untuk sapi perah untuk produksi susu yang tinggi dan efisiensi reproduksi.
Program Manajemen Untuk Reproduksi yang Optimal
Masa Istirahat Post Partus
            Idealnya agar mendapatkan produksi susu yang tinggi calving interval pada sapi perah dara adalah 13 bulan dan 12 bulan untuk selanjutnya. Pada kenyataannya di peternakan rakyat calving interval dapat mencapai 15-18 bulan, pada sapi-sapi produksi tinggi sering tidak segera estrus kembali setelah partus. Masa istirahat yang diperlukan setelah partus antara 40-70 hari. Masa istirahat ini adalah masa involusi uterus untuk persiapan kebuntingan berikutnya. Dalam beberapa penelitian menyebutkan masa istirahat yang lebih panjang akan memperbaiki nilai conception rate karena perbaikan organ reproduksi yang lebih sempurna. Sapi dengan kondisi semua normal waktu yang diperlukan untuk sempurnanya involusi uterus tidak lebih dari 40 hari, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah (Stevenson, J.S. 2001);
1.  Masa periparturient.
Proses kelahiran memerlukan perhatian, perawatan dan kebersihan, karena banyak hal yang akan terjadi setelah kelahiran misalnya induk menjadi sakit atau sehat, produksi susu rendah atau tinggi, siklus reproduksi kembali normal atau tidak normal, pedhet lahir normal atau mengalami kelainan bahkan mungkin terjadi kematian. Pada masa ini kebutuhan nutrisi sangat tinggi untuk kekuatan feto-plasenta, persiapan glandula mamaria, kekuatan induk untuk melahirkan dan kekebalan induk dari berbagai penyakit.
2.  Masa Sesudah Partus
Fokus perhatian diberikan pada induk dan pedhetnya kurun waktu 1-2 minggu post partus, ditempatkan dalam kandang isolasi khusus untuk monitoring setiap hari temperatur dan tanda-tanda kemungkinan sakit. Beberapa suplement obat diberikan pada masa ini untuk menurunkan panas, involusi uterus, tambahan energi, tambahan kalsium dan antibiotik sistemik.
3.  Kembalinya Siklus Estrus
Siklus estrus normal rata-rata 3 minggu (18-24 hari) pada sapi yang telah mencapai usia pubertas. Pada sapi perah sering lebih bervariasi terutama setelah beranak. Gelombang perkembangan folikel ovarium terjadi pada minggu pertama setelah partus, dan folikel dominan pertama  biasanya diovulasikan.
Nafsu makan perlu diperbaiki untuk memastikan terpenuhinya Diet intake minimum normal, sapi yang sehat perlu menjaga nutrisi untuk produksi susu yang maksimal, perkembangan folikel, berhasilnya ovulasi, sempurnanya involusi uterus dan persiapan kebuntingan berikutnya. Sapi perah masa laktasi biasanya mengalami keseimbangan energi yang negatif terutama terendah pada saat minggu 1-2 pasca beranak dan membaik dalam waktu yang bervariasi, kemudian ovulasi pertama dapat terjadi pada 10-15 hari pasca kondisi terendah tersebut. Dengan  perbaikan intake pakan dan minum, sapi perah akan kembali dalam keseimbangan energi yang baik dalam waktu 6-10 minggu setelah beranak. Sebagian besar dilaporkan bahwa ovulasi post partus pertama pada sapi perah terjadi pada akhir bulan pertama setelah beranak, sehingga biasanya conception dapat terjadi dengan baik pada ovulasi kedua post partus karena involusi uterus telah sempurna dan energi telah seimbang.
Body Condition Score (BCS) juga memiliki pengaruh dalam conception dan jumlah keberhasilan IB. Beberapa hasil studi menjelaskan bahwa sapi-sapi yang kehilangan 0,5 – 1,0 unit BCS pada post partus masih memiliki conception yang lebih baik (IB pertama berhasil) dibanding yang mengalami penurunan BCS > 1,0 unit. Untuk menjaga pemenuhan BCS dan diet intake minimal serta keseimbangan energi yang dibutuhkan, seekor sapi harus mengkonsumsi nutrisi >4% berat badan setiap hari. Hal ini penting ditekankan pada peternak rakyat karena kasus-kasus tidak kembalinya siklus estrus sangat tinggi sekali dan rata-rata diakibatkan karena tidak terpenuhinya diet intake minimal.
4.  Breeding Program
Breeding program atau program perkawinan, dilaksanakan secara terkontrol, meliputi beberapa pekerjaan penting yaitu;
1)     Ada petugas yang mengatur sebaik-baiknya jadwal pekerjaan dalam pemeliharaan sapi perah terutama siklus reproduksinya. Memiliki recording yang jelas terhadap masing-masing sapi, umur, tanggal birahi, tanggal dikawinkan, tanggal beranak, dan lain-lain.
2)     Pengawasan terhadap deteksi estrus dan ovulasi yang akurat.
3)     Pengetahuan yang jelas mengenai tahapan-tahapan estrus sapi dan status reproduksi sapi.
4)     Pengetahuan tentang status kebuntingan sapi.
Targeted Breeding Program.  Merupakan program sinkronisasi birahi, tujuannya untuk membuat birahi yang serempak pada beberapa ekor sapi perah. Program ini biasanya dilakukan bertujuan untuk efisiensi perawatan reproduksi sapi dan mengoptimalkan produksi. Biasanya dilakukan dengan injeksi PGF2α, yang diaplikasikan 2 kali berjarak 11-14 hari. Injeksi pertama hampir 50% sapi menunjukkan estrus tetapi tidak dilakukan inseminasi. Setelah  injeksi yang kedua kemudian dilakukan deteksi estrus dan IB. Jika setelah injeksi kedua tidak terdeteksi estrus maka dilakukan injeksi yang ketiga berselang 14 hari dari injeksi kedua dan dilakukan IB pada 72-80 hari setelah injeksi PGF2α yang ketiga.


(Stevenson, J.S, 2001)
Periode Kawin
Pengamatan terhadap tanda-tanda birahi sapi sangat penting dilakukan sesuai dengan jadwal siklus reproduksi sapi, dengan tujuan mengetahui waktu yang tepat untuk dilakukan IB atau kawin alami. Pengawasan paling tidak dilakukan 2 kali sehari secara khusus dan ditambah pengawasan pada saat memberi pakan atau saat pemerahan. Sapi perah birahi terjadi antara jam 16.00-18.00 dan 05.00-07.00, untuk itu pengawasan pada saat malam hari juga perlu dilakukan. Exercise pada sapi betina perlu dilakukan secara teratur agar terlihat aktifitas birahi seperti menaiki temannya atau dinaiki temannya (Stevenson, J.S. 2001, Schefers at al. 2009).
1.  Deteksi estrus
Pengetahuan yang jelas mengenai tahapan-tahapan estrus sapi dan status reproduksi sapi. Tahap-tahap tersebut adalah;
Tahap 1 adalah Pro estrus, merupakan tahapan dimana awal estrus, biasanya sapi mulai gelisah, sedikit keluar lendir, vulva mulai membengkak, dalam kisaran waktu 0-4 atau 0-6 jam. Pada saat ini belum waktunya dikawinkan.
Tahap 2 adalah standing heat atau birahi, ditandai dengan keluar lendir bening, vulva terlihat merah bengkak dan hangat, diam jika dinaiki temannya, jinak jika didekati, sering melenguh, gelisah, nafsu makan-minum menurun. Perkawinan akan berhasil jika dilakukan pada 10 jam pertama setelah terlihat tanda-tanda birahi atau paling lambat 6 jam  pertama setelah tanda-tanda birahi sudah berakhir. Jika birahi diketahui pada saat pagi hari sebaiknya di IB sore hari pada hari itu, jika birahi diketahui saat sore hari maka IB dilakukan pada pagi hari dihari berikutnya.
Tahap 3 adalah Met estrus, berlangsung 3-4 hari pasca birahi. Pada tahap ini terjadi ovulasi, ovulasi terjadi pada 24 jam- 32 jam sejak pro estrus. Biasanya 85% dari periode birahi sapi dara dan 50% sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva.
Tahap 4 adalah Diestrus, masa ini merupakan masa antar birahi, berlangsung 12-18 hari setelah Met estrus sampai ke periode Pro estrus. Pada tahap ini status reproduksi tidak aktif.
Pada beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa deteksi estrus pada sapi perah dengan produksi susu yang tinggi lebih sulit dilakukan, hal ini ekuivalen antara rata-rata produksi susu dan rata-rata siklus estrus . Aktifitas birahi jelas lebih terlihat pada tahap proestrus dan estrus, seperti menaiki dan dinaiki temannya, aktifitas ini karena pengaruh estrogen (midcycle fungtional Corpus Luteum). Aktifitas birahi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pada kandang yang terlalu rapat dan sapi yang ditambat terus-menerus maka aktifitas ini menjadi berkurang. Maka exercise sangat penting pada sapi perah untuk memastikan kondisi kaki dan performa tubuh yang sehat dan memudahkan dalam deteksi birahi.
2.  Alat Bantu Deteksi Estrus
Idealnya untuk deteksi estrus mengikuti beberapa karakteristik yaitu; surveilans yang terus berkelanjutan terhadap sapi, identifikasi estrus yang akurat dan otomatis, sapi-sapi dalam masa produktif, peralatan kerja yang simpel, akurasi dan efisiensi yang tinggi dalam identifikasi sehibungan dengan fisiologis estrus dan ovulasi. Alat-alat yang biasanya digunakan adalah heat mount detector yang diletakkan di pantat sapi, Activated (colored) KaMar heat mount detector, tail paint, tail chalk, dan electronic gadgetry yang mahal lainnya. Berbagai alat tersebut hanya membantu deteksi ketika tidak ada petugas yang dapat mengamati, karena deteksi estrus yang paling akurat adalah dengan melakukan observasi langsung (Stevenson, J.S. 2001, Bath at al. 1985).

3.  Pemilihan bibit IB atau pejantan.
Recording masing-masing sapi yang teratur sangat menguntungkan dalam pemilihan bibit. Pencatatan ini harus didukung oleh peternak sebagai pemilik dan petugas inseminasi, sehingga dapat dihindari kasus inbreeding atau kawin dengan kerabat yang terlalu dekat. Untuk memperoleh keturunan sapi perah yang baik biasanya dilakukan 2 sistem breeding  yaitu upgrading dan purebreeding, keduanya berasal dari ras atau jenis yang sama dengan tujuan mempertahankan ras dan produksinya (Diggins at al. 1954).

4.  Konfirmasi Kebuntingan.
Setelah 21 hari sapi yang telah di IB tidak menunjukkan gejala minta kawin lagi maka kemungkinan telah terjadi kebuntingan. Konfirmasi kebuntingan dapat dilakukan dengan pemeriksaan oleh petugas khusus. Jika sapi tidak bunting setelah di IB atau kawin alami lebih dari 3 kali maka perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan mengenai status kesehatan organ-organ reproduksinya. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untu segera mengetahui penyebab gagalnya IB tersebut dan melakukan penanganan (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).

Kebuntingan dan Masa Kering

Body Condition dan Berat Badan
            Performa sapi perah pada masa laktasi berikutnya tergantung kondisinya pada saat bunting dan masa kering. BCS sapi perah menjelang masa kereing sebaiknya antara 3,25 – 3,75. Masa kritis BCS adalah pada 100 hari masa laktasi, karena jika terlalu kurus maka akan banyak energi yang dihabiskan untuk perbaikan kondisi tubuh selama laktasi dan selama masa kering (Stevenson, J.S. 2001). Menjelang bunting kualitas pakan harus diperhatikan agar pertumbuhan fetus dan induk terjaga baik, sehingga menjaga kelancaran dan keamanan pada waktu beranak dan produksi susu yang baik (Enevoldsen, at al. 1996). BCS dan berat badan yang rendah dapat menyebabkan gangguan pada saat beranak seperti prolapsus, retensi plasenta, distokia dan gangguan kesehatan lainnya sepeerti sindroma sapi ambruk, hipokalsemia, milk fever dan lain-lain (Putro, P.P. 2009)

Masa Kering
            Pada masa kering yang hal paling sering terjadi di peternakan rakyat adalah peternak kurang memperthatikan masalah kebutuhan nutrisi sapi karena pada masa tersebut sapi dianggap tidak menghasilkan. Kondisi inilah yang sering menyebabkan banyaknya masalah pada sapi-sapi perah rakyat terutama pada saat bunting tua, saat beranak, pasca beranak dan masalah kesehatan pedhet. Kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi disaat masa kritis tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi peternak, biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk menolong sapi yang prolapsus, ambruk, distokia, pedhet yang lemah dan ditambah lagi siklus reproduksi berikutnya yang tidak berjalan normal kembali (Stevenson, J.S. 2001, Schefers at al. 2009).
            Peternak perlu memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi saat masa kering, karena nutrisi  pada masa kering dibutuhkan untuk perkembangan feto-plasental, serta keseimbangan antara kebutuhan serat dan energi. Pada saat mendekati partus kebutuhan energi lebih tinggi daripada kebutuhan serat .

Faktor-faktor Lain Yang Mempengaruhi Reproduksi

Abnormalitas Siklus Estrus
1)        Anestrus
               Anestrus merupakan kondisi dimana sapi perah tidak birahi, hal ini dapat disebabkan karena tidak berkembangnya ovarium. Ovarium yang tidak berkembang dapat karena sebab malnutrisi atau gangguan genetis. Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian hormon gonadotropin terutama FSH dosis tinggi. FSH dapat menghasilkan terjadinya ovulasi tetapi IB sebaiknya dilakukan pada estrus yang kedua (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
               Retensi plasenta atau pyometra biasanya juga menyebabkan terjadinya anestrus. Pada kondisi ini terjadi corpus luteum persistent dimana adanya progesteron yang mencegah terjadinya estrus. Membersihkan plasenta dan pus dalam uterus adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk menangani kasus ini.
               Corpus luteum persistent dengan cairan didalamnya juga menyebabkan anestrus, atau pada kasus ini disebut cystic ovary. Pengobatan pada kasus ini dapat dengan cara penekanan CL ini melalui palpasi rektal. Cara ini juga sangat murah dan praktis tetapi perlu keahlian khusus, karena jika terlalu berlebihan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ovarium. Penanganan lainnya adalah dengan injeksi gonadotropin hormon dengan LH dosis tinggi atau dosis kecil PGF2α atau estrogen.
2)        Ireguler Siklus Estrus
               Sapi perah normal memiliki siklus estrus antara 18-24 hari. Pada sapi perah kadang-kadang  terjadi iregular siklus estrus yang tidak diketahui penyebabnya. Penyakit – penyakit infeksi pada saluran reproduksi patut dicurigai bila sapi menunjukkan siklus estrus yang tidak normal. Catatan siklus reproduksi sangat penting dalam hal ini untuk membantu diagnosa penyebab ireguler siklus estrus.
3)        Silent Heat/ Silent Estrus
               Kurang lebih ada 15-25% sapi perah pada saat ovulasi tidak menunjukkan tanda-tanda birahi yang jelas, sehingga menjadi masalah dalam deteksi estrus terutama pada sapi-sapi post partus  dan menjelang pubertas. Peternak seringkali tidak melihat tanda-tanda birahi karena durasi birahinya yang pendek, birahi pada malam hari atau alat bantu deteksi birahi yang tidak berjalan baik. Jika sapi perah memiliki kebiasaan demikian maka akan lebih efektif deteksi estrus dengan menggunakan pejantan (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).
4)        Nymphomania/ Constant Estrus
               Minta kawin yang terus-menerus, ada perpanjangan masa estrus. Penyebabnya adalah cystic ovary atau folicular cystic. Satu pengobatan yang utama adalah injeksi LH, setelah injeksi LH biasanya akan diikuti dengan luteinization dari dinding folikel sehingga siklus estrus kembali normal dan konsepsi biasanya terjadi pada estrus berikutnya. Kasus cystic ovary atau folicular cystic pada beberapa penelitian menyebutkan berhubungan dengan jumlah produksi susu, walaupun tidak secara langsung (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S. 2001).

Pencegahan Penyakit
            Dalam pemeliharaan sapi perah sejak awal penting diperhatikan masalah genetisnya. Memilih sapi dengan produksi tinggi memiliki catatan kesehatan yang baik lebih diutamakan untuk efisiensi biaya produksi. Manajemen kesehatan sapi terlihat sangat bernilai ekonomi terutama pada peternakan berskala besar, meskipun demikian pada peternakan rakyat harus memahami pentingnya nilai kesehatan ternak yang akan berimbas pada jumlah produksi, reproduksi dan biaya pengobatan. Hal-hal yang perlu diprogramkan dalam peternakan sapi perah yaitu; vaksinasi bagi sapi-sapi baru, pemberantasan cacing, kontrol terhadap mastitis, perawatan kuku, pengecekan reproduksi dan pemeriksaan sampel darah, sampel jaringan pada kasus-kasus penyakit yang tidak diketahui.

IB teknik, Handling dan Timing
             Menurut Stevenson, J.S. 2001,  Schefers at al. 2009 dan Enevoldsen at al.1996. Teknik IB mungkin merupakan penyebab atau juga tidak sebagai penyebab gagalnya inseminasi. Titik kritis dari teknik IB adalah penempatan semen pada badan uterus, karena hanya sedikit sperma motil yang mampu mencapai oviduk jika semen hanya ditempatkan dicervix dibanding di uterus.
            Handling semen juga sangat penting karena membran sperma merupakan bagian yang paling rapuh, mudah sekali mengalami cold and heat shocked. Dalam handling semen perlu mengikuti petunjuk yang aman dalam pengambilan, thawing, transportasi, dan menjaga semen aman masuk kedalam sapi. Teknik handling yang harus diikuti adalah saat memindahkan straw harus dijagajangan sampai melalui garis beku dalam kontainer, thawing straw pada air hangat suhu 37C dalam waktu paling tidak 40 detik. Thawing pada suhu yang tepat adalah titik kritis dalam handling semen.
            Ketepatan waktu pada IB adalah dimana sperma dapat mencapai oviduk tepat saat ovulasi. Jika handling dari frozen-thawing semen dilakukan secara baik maka waktu hidup sperma diperkirakan <48 jam didalam oragan reproduksi betina.Sperma membutuhkan waktu untuk mencapai kornu uterin ke uterotubal junction dan masuk ke oviduk, dan mencapai proses maturasi yang disebut kapasitasi. Berdasarkan pada program deteksi estrus maka IB dilakukan 12 jam setelah deteksi estrus pertama diketahui. Pada kenyataannya kita tidak tahu riil waktu kapan estrus dimulai, tetapi rata-rata betina terdeteksi estrus dalam waktu ± 6 jam, jadi ketika di IB 12 jam setelah terdeteksi  perkawinan terjadi ± 18 jam setelah estrus. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa rata-rata konsepsi terjadi pada sapi perah yang estrus pagi hari dan di IB sore hari lebih besar (52%) daripada yang estrus sore hari dan di IB pagi harinya (47%). Berdasarkan adanyakenaikan progesteron, 13-19% sapi di IB pada saat tidak estrus. IB pada sapi bunting akan menyebabkan terjadinya abortus. Pada sapi perah bunting ± 10% menunjukkan tanda-tanda estrus. Untuk mencegah dan mengurangi terjadinya abortus pada sapi tersebut, semen sebaiknya diletakkan pada pertengahan cervix, hal ini juga memberikan peluang untuk terjadinya konsepsi jika ternyata sapi tersebut benar-benar estrus.

Mastitis Klinis dan Abortus
            Infeksi glandula mamaria merupakan predisposisi hilangnya kesempatan bunting akibat siklus luteal normal yang tergangggu. Sapi dengan kasus mastitis pada 45 hari pertama postpartus memiliki nilai 2,7 kali lebih besar terjadi abortus dibanding yang tidak menderita mastitis.Hasil dari sebuah penelitian menunjukkan mekanisme mastitis yang berhubungan dengan kebuntingan adalah karena adanya sekresi PGF2α. Faktanya adalah; 1. Kuartir percobaan yang mengandung mastitis coliform memiliki konsentrasi PGF2α yang lebih besar daripada kuartir kontrol, 2. Infusi endotoxin intravena meningkatkan konsentrasi prostaglandin dalam plasma darah, thromboxane B2 dan kortisol, dimana konsentrasi progesteron menurun (Stevenson, J.S, 2001)

Distokia
            Kesulitan beranak pada sapi perah yang paling umum disebabkan oleh abnormalitas presentasi fetus. Abnormalitas presentasi tersebut misalnya kaki terlipat kedalam, kepala terpuntir kekanan atau kekiri, keatas atau kebawah dan lain-lain. Pada kondisi seperti ini sebaiknya dibantu oleh dokter hewan untuk mengembalikan posisi presentasi fetus ke posisi normal, jika hal tersebut tidak dimungkinkan dapat dibantu dengan operasi sesar atau melakukan pemotongan fetus untuk tujuan menyelamatkan induknya. Distokia juga dapat disebabkan karena fetus yang terlalu besar sebagai akibat dari fetal monster, induk betina ras kecil di IB dengan pejantan ras besar, atau bunting yang panjang (Bath et al., 1985).
            Kasus distokia pada umumnya terjadi pada sapi-sapi dara atau pertama kali bunting. Pada umumnya untuk mencegah distokia peternak mengawinkan sapi dara mereka dengan pejantan ras kecil terlebih dahulu. Akibat dari kasus distokia biasanya diikuti dengan prolapsus uteri maupun vagina. Prolapsus ini dapat direposisi kembali oleh dokter hewan dan siklus reproduksi dapat kembali normal. Kenyataan yang terjadi dipeternakan adalah jika sapi sudah pernah mengalami distokia kemudian terjadi prolapsus biasanya akan berulang pada pada kebuntingan berikutnya, maka sering diputuskan untuk mengeluarkan atau culling terhadap sapi-sapi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bath, D.L., Dickinson, F.N., Tucker, H.A., Appleman, R.D. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. 3rd ed. Lea & Febiger Philadelphia.
Benson, G.J. and Rollin, B.E. 2004. The Well-Being of Farm Animals Challenges and Solutions. Blackwell Publishing.
Dillon, P., Snijders, S., Buckley, F., Harris, B., O’Connor, P. and Mee, J.F. 2003. Acomparison of different dairy cow breeds on seassonal grass-based system of milk production 2. Reproduction and survival. Livestock Production Science 83 (2003) 35-42.
Diggins, R.V. and Bundy, C.E. 1954. Dairy Production. 2nd Ed. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, N.J.
Enevoldsen, C., Hindhede, J. And Kristensen, T. 1996. Dairy Herd Management Types Assessed from Indicators of Health, reproduction, Replacement, and Milk Production. J. Dairy Sci. 79:1221-1236.
Putro, P.P. 2009. Manajemen Kesehatan dan Reproduksi Sapi Perah. Hand Out Kuliah. Bagian Reproduksi dan Obstetri FKH UGM
Schefers, J.M., Weigel, K.A., Rawson, C.L., Zwald, N.R. and Cook, N.B. 2010. Management practices associated with conception rate and service rate of lactating Holstein cows in large, commercial dairy herds. J.Dairy Sci. 93: 1459-1467.
Stevenson, J.S.  2001. Reproductive Management of Dairy Cows in High Milk-Producing Herds. J. Dairy Sci. 84 (E. Suppl.):E128-E143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar