PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA DAN UNIT
PENANGANAN DAGING (MEAT CUTTING PLANT)
(Peraturan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/PERMENTAN/OT. 140/1/2010 Tahun
2010 tanggal 22 Januari 2010)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka menjamin
pangan asal hewan khususnya karkas, daging , dan jeroan ruminansia yang aman
,sehat, utuh dan halal dibutuhkan Rumah Potong Hewan yang memenuhi persyaratan
;
b.
bahwa kegiatan pemotongan hewan
ruminansia mempunyai risiko penyebaran dan/atau penularan penyakit hewan
menular termasuk penyakt zoonotik dan/atau penyakit yang ditularkan melalui
daging (meat borne disease) yang mengancam kesehatan manusia, hewan dan
lingkungan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksudpada huruf a dan huruf b tersebut di atas dan untuk
melaksanakan ketentuan pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota dipandang perlu
menetapkan Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging
(Meat Cutting Plant) dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Mengingat :
1.
Undang- Undang Nomor 7 Tahun
1996 tantang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3656);
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3821);
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner ( Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
(Lembaran Negara 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 102
Tahun 2000 tetang Standardisasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 50
Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4761);
11.
Keputusan Presiden Nomor 84/P
Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12.
Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;
13.
Peraturan Presiden Nomor 47
Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
14.
Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 58/Permentan/OT.210/3/2005 tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di
Bidang Pertanian;
15.
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 299/Kpts/Kp. 140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/ Permentan/ OT. 140/2/2007
dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/ OT. 140/4/2008;
16.
Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 341/ Kpts/Kp. 140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.
140/2/2007;
17.
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 381/Kpts/OT. 140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN
MENTERI PERTANIAN TENTANG PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA DAN UNIT
PENANGANAN DAGING (MEAT CUTTING PLANT)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
ini yang dimaksud dengan:
1.
Ruminansia besar adalah ternak
memamah biak yang terdiri dari ternak ruminansia besar, seperti sapi dan
kerbau, serta ternak ruminansia kecil, seperti kambing dan domba.
2.
Rumah Potong Hewan yang
selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi
konsumsi masyarakat umum.
3.
Unit Penanganan Daging (meat
cutting plant) yang selanjutnya disebut dengan UPD adalah suatu bangunan atau
kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai
tempat untuk melakukan pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan
pemotongan daging sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging untuk
konsumsi masyarakat umum.
4.
Hewan adalah binatang atau
satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air
dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.
5.
Karkas ruminansia adalah bagian
dari tubuh ternak ruminansia sehat yang telah disembelih secara halal,
dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus
ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, dapat
berupa karkas segar hangat (hot carcass), segar dingin (chilled carcass) atau
karkas beku (frozen carcass).
6.
Daging adalah bagian dari otot
skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri
atas potongan daging bertulang dan daging tanpa tulang, dapat berupa daging
segar hangat, segar dingin (chilled) atau karkas beku (frozen).
7.
Karkas atau daging segar dingin
(chilled) adalah karkas atau daging yang mengalami proses pendinginan setelah
penyembelihan sehingga temperatur bagian dalam karkas atau daging antara 0oC
dan 4 oC.
8.
Karkas atau daging segar beku
(frozen) adalah karkas atau daging yang sudah mengalami proses pembekuan di
dalam blast freezer dengan temperatur internal karkas atau daging minimum minus
18 oC.
9.
Jeroan (edible offal) adalah
isi rongga perut dan rongga dada dari ternak ruminansia yang disembelih secara
halal dan benar sehingga aman, lazim, dan layak dikonsumsi oleh manusia dapat
berupa jeroan dingin atau beku.
10.
Pemeriksaan ante-mortem
(ante-mortem inspection) adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh
petugas pemeriksa berwenang.
11.
Pemeriksaan post-mortem
(post-mortem inspection) adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh
petugas pemeriksa berwenang.
12.
Pemotongan hewan adalah
kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri dari pemeriksaan
ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan, dan pemeriksaan
post-mortem.
13.
Penyembelihan hewan adalah
kegiatan mematikan hewan hingga tercapai kematian sempurna dengan cara
menyembelih yang mengacu kepada kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama
Islam.
14.
Penanganan daging hewan adalah
kegiatan yang meliputi pelayuan , pembagian karkas, pembagian potongan daging,
pembekuan, pendinginan, pengangkutan, penyimpanan dan kegiatan lain untuk
penjualan daging.
15.
Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan pemerintah yang
ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota
untuk melakukan pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
16.
Dokter hewan penanggung jawab teknis
adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Manajemen RPH dan/atau UPD berdasarkan
rekomendasi dari Gubernur/Bupati/Walikota yang bertanggungjawab dalam
pemerikasaan antemortem dan postmortem serta pengawasan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner di RPH dan/atau UPD.
17.
Daerah kotor adalah daerah
dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang tinggi.
18.
Daerah bersih adalah daerah
dengan tingkat pencemaran biologik, kimiawi
dan fisik yang rendah.
19.
Desinfeksi adalah penerapan
bahan kimia dan/atau tindakan fisik untuk mengurangi/menghilangkan
mikroorganisme.
20.
Kandang penampung adalah
kandang yang digunakan untuk menampung hewan potong sebelum pemotongan dan
tempat dilakukannya pemeriksaan ante-mortem.
21.
Kandang isolasi adalah kandang
yang digunakan untuk mengisolasi hewan potong yang ditunda pemotongannya karena
menderita atau dicurigai menderita penyakit tertentu.
22.
Zoonis adalah suatu penyakit
infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
23.
Kesehatan Masyarakat Veteriner
yang selanjutnya disingkat Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan
dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia.
Pasal 2
Peraturan
Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan
dan dasar hukum bagi setiap orang dan pemerintah daerah dalam membangun dan
mengembangkan RPH dan UPD.
Pasal 3
Ruang lingkup peraturan
ini meliputi Persyaratan RPH: Persyaratan UPD: Persyaratan Higiene-sanitasi:
Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner:
Izin RPH, Izin dan Jenis Usaha Pemotongan Hewan: Sumber Daya Manusia;
ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
BAB II
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis RPH
Pasal 4
RPH merupakan
unit pelayananan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan
halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:
a.
pemotongan hewan secara benar,
(sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan
dan sariah agama);
b.
pemeriksaan kesehatan hewan
sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan
(post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c.
pemantauan dan surveilans
penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan
pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.
Pasal 5
(1)
Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi
persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
(2)
Persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan peraturan perundangan.
(3)
Persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Lokasi;
b.
Sarana pendukung;
c.
Konstruksi dasar dan disain
bangunan;
d.
Peralatan.
Bagian Kedua
Persyaratan Lokasi
Pasal 6
(1)
Lokasi RPH harus sesuai dengan
Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah
(RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis.
(2)
Lokasi RPH harus memenuhi
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
tidak berada di daerah rawan
banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya;
b.
tidak menimbulkan gangguan dan
pencemaran lingkungan;
c.
letaknya lebih rendah dari
pemukiman;
d.
mempunyai akses air bersih yang
cukup untuk pelaksanaaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta
desinfeksi;
e.
tidak berada dekat industri
logam dan kimia;
f.
mempunyai lahan yang cukup
untuk pengembangan RPH;
g.
terpisah secara fisik dan
lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi
minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar
rumah potong.
Bagian Ketiga
Persyaratan Sarana Pendukung
Pasal 7
RPH harus
dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang meliputi:
a.
akses jalan yang baik menuju
RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging;
b.
sumber air yang memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1.000
liter/ekor/hari;
c.
sumber tenaga listrik yang
cukup dan tersedia terus menerus;
d.
fasilitas penanganan limbah
padat dan cair;
Bagian Keempat
Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi
Pasal 8
(1)
Kompleks RPH harus dipagar dan
harus memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya
karkas, dan daging.
(2)
Bangunan dan tata letak dalam
komples RPH paling kurang meliputi:
a.
bangunan utama ;
b.
area penurunan hewan (unloading
sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan;
c.
kandang penampungan khusus
ternak ruminansia betina produktif;
d.
kandang isolasi;
e.
ruang pelayuan berpendingin
(chilling room);
f.
area pemuatan (loading) karkas/
daging;
g.
kantor administrasi dan kantor
Dokter Hewan;
h.
kantin dan mushola;
i.
ruang istirahat karyawan dan
tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian;
j.
kamar mandi dan wc;
k.
fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau
produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator;
l.
sarana penanganan limbah;
m.
rumah jaga.
(3)
Dalam kompleks RPH yang
menghasilkan produk akhir daging segar dingin (chilled) atau beku (frozen)
harus dilengkapi dengan:
a.
Ruang pelepasan daging
(deboning room) dan pemotongan daging (cutting room);
b.
Ruang pengemasan daging
(wrapping and packing);
c.
Fasilitas chiller;
d.
Fasilitas freezer dan blast
freezer;
e.
Gudang dingin (cold storage).
(4)
RPH berorientasi ekspor
dilengkapi dengan laboratorium sederhana.
Pasal 9
(1)
Bangunan utama RPH sebagaimana
dimakud dalam pasal 8 ayat (2) huruf a harus memiliki daerah kotor yang
terpisah secara fisik dari daerah bersih.
(2)
Daerah kotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
area pemingsanan atau perebahan
hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah;
b.
area penyelesaian proses
penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai metatarsus dan metakarpus,
pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut);
c.
ruang untuk jeroan hijau;
d.
ruang untuk jeroan merah;
e.
ruang untuk kepala dan kaki;
f.
ruang untuk kulit; dan
g.
pengeluaran (loading) jeroan.
(3)
Daerah bersih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi area untuk:
a.
pemeriksaan post-mortem;
b.
pemeriksaan karkas;
c.
pengeluaran (loading)
karkas/daging.
Pasal 10
Disain dan
konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan RPH harus dapat memfasilitasi
penerapan cara produksi yang baik dan mencegah terjadinya kontaminasi.
Pasal 11
Bangunan utama
RPH harus memenuhi persyaratan:
a.
tata ruang didisain sedemikian
rupa agar searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup, sehingga
seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan dengan baik dan higienis, dan
besarnya ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan;
b.
adanya pemisahan ruangan yang
jelas secara fisik antara “daerah bersih” dan “daerah kotor”;
c.
memiliki area dan fasilitas
khusus untuk melaksanakan pemeriksaan post-mortem;
d.
lampu penerangan harus
mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya 540 luks
untuk area pemeriksaan post-mortem, dan 220 luks untuk area pengerjaan proses
pemotongan;
e.
dinding bagian dalam berwarna
terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan kedap air, tidak
mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi
serta tidak mudah mengelupas;
f.
dinding bagian dalam harus rata
dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagi tempat untuk meletakkan
barang;
g.
lantai terbuat dari bahan kedap
air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi dan landai ke arah saluran
pembuangan;
h.
permukaan lantai harus rata
tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang, jika lantai terbuat dari ubin,
maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup
dengan bahan kedap air;
i.
lubang ke arah saluran
pembuangan pada permukaan lantai
dilengkapi dengan penyaring;
j.
sudut pertemuan antara dinding
dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 75 mm;
k.
sudut pertemuan antara dinding
dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;
l.
di daerah pemotongan dan
pengeluaran darah harus didisain agar darah dapat tertampung;
m.
langit-langit didisain agar
tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan, harus berwarna
terang, terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah
dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit;
n.
ventilasi, pintu dan jendela
harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga atau dengan
menggunakan metode pencegahan serangga lainnya;
o.
konstruksi bangunan harus
dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah tikus atau rodensia, serangga dan
burung masuk dan bersarang dalam bangunan;
p.
pertukaran udara dalam bangunan
harus baik;
q.
kusen pintu dan jendela, serta
bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, dibuat dari bahan yang
tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan, dan
didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak
dapat masuk;
r.
kusen pintu dan jendela bagian
dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan
barang.
Pasal 12
(1)
Area penurunan (unloading)
ruminansia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
dilengkapi dengan fasilitas
untuk menurunkan ternak (unloading) dari atas kendaraan angkut ternak yang
didisain sedemikian rupa sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau
tergelincir;
b.
ketinggian tempat
penurunan/penaikan sapi harus disesuikan dengan ketinggian kendaraan angkut
ternak;
c.
lantai dari sejak tempat
penurunan hewan sampai kandang penampungan harus tidak licin dan dapat
meminimalisasi terjadinya kecelakaan;
d.
harus memenuhi aspek
kesejahteraan hewan.
(2)
Kandang penampung dan istirahat
hewan harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagi berikut:
a.
bangunan kandang penampungan sementara
atau kandang istirahat paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama;
b.
memiliki daya tampung 1,5 kali
dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari;
c.
ventilasi (pertukaran udara)
dan penerangan harus baik;
d.
tersedia tempat air minum untuk
hewan potong yang didisain landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah
dibersihkan;
e.
lantai terbuat dari bahan yang
kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah
saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
f.
saluran pembuangan didisain
sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar;
g.
atap terbuat dari bahan yang
kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan;
h.
terdapat jalur penggiringan
hewan (gang way) dari kandang menuju tempat penyembelihan, dilengkapi dengan
pagar yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor
sehingga hewan tidak dapat kembali ke kandang;
i.
jalur penggiringan hewan yang
berhubungan langsung dengan bangunan utama didisain sehingga tidak terjadi
kontras warna dan cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong
menjadi stress dan takut.
Pasal 13
(1)
Untuk melindungi populasi
ternak ruminansia betina produktif, harus dilakukan pencegahan pemotongan
ternak ruminansia betina produktif di RPH.
(2)
Ternak ruminansia betina yang
berdasarkan pemeriksaan ante-mortem sebagai ternak betina produktif harus
ditampung dalam kandang khusus yang memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a.
kandang penampung ternak
ruminansia betina produktif dapat merupakan kandang penampung yang terpisah
atau merupakan bagian kandang penampungan hewan tetapi memiliki batas yang
jelas;
b.
fungsi kandang penampungan
untuk menampung ternak ruminansia betina produktif hasil seleksi hewan yang
akan dipotong di RPH, sekaligus sebagai
tempat isolasi untuk ternak yang tidk boleh dipotong;
c.
syarat kandang penampungan
ternak ruminansia betina produktif harus sama dengan syarat kandang penampungan
ternak;
d.
dilengkapi dengan kandang jepit
untuk pemeriksaan status reproduksi.
Pasal 14
Kandang isolasi
harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
terletak pada jarak terjauh
dari kandang penampung dan bangunan utama, serta dibangun dibagian yang lebih
rendah dari bangunan lain;
b.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang baik;
c.
dilengkapi dengan tempat air
minum yang didisain landai ke arah saluran pembuangan sehingga mudah
dibersihkan;
d.
lantai terbuat dari bahan yang
kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin, dan landai ke
arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi:
e.
saluran pembuangan didisain
sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancer;
f.
atap terbuat dari bahan yang
kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.
Pasal 15
Ruang
pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan paling kurang
sebagai berikut:
a.
ruang pendingin/pelayuan
terletak di daerah bersih;
b.
besarnya ruang disesuaikan
dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan mempertimbangkan jarak antar karkas
paling kurang 10 cm, jarak antara karkas dengan dinding paling kurang 30 cm,
jarak antara karkas dengan lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris
paling kurang 1 meter;
c.
konstruksi bangunan harus
memenuhi persyaratan:
1.
tinggi dinding pada tempat
proses pemotongan dan pengerjaan karkas minimal 3 meter;
2.
dinding bagian dalam berwarna
terang, terbuat dari bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak
mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan
dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
3.
lantai terbuat dari bahan yang
kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras,
mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
4.
lantai tidak licin dan landai
ke arah saluran pembuangan;
5.
sudut pertemuan antara dinding
dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 75 mm;
6.
sudut pertemuan antara dinding
dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm;
7.
langit-langit harus berwarna
terang, terbuat dari bahan yang kedap air, memiliki insulasi yang baik, tidak
mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan;
8.
intensitas cahaya dalam ruang
220 luks.
d.
bangunan dan tata letak
pendingin/pelayuan harus mengikuti persyaratan seperti bangunan utama;
e.
ruang didisain agar tidak ada
aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang
pendingin/pelayuan;
f.
ruang dilengkapi dengan alat
penggantung karkas yang didisain agar karkas tidak menyentuh lantai dan
dinding;
g.
ruang mempunyai fasilitas
pendingin dengan suhu ruang -4oC sampai +4oC, kelembaban
relative 85-90% dengan kecepatan udara 1 sampai 4 meter per detik;
h.
suhu ruang dapat menjamin agar
suhu bagian dalam daging maksimum +8oC;
i.
suhu ruang dapat menjamin agar
suhu bagian dalam jeroan maksimum +4oC.
Pasal 16
Area pemuatan
(loading) karkas dan/atau daging ke dalam kendaraan angkut karkas dan/atau
daging harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
dapat meminimalisasi terjadinya
kontaminasi silang pada karkas dan/atau daging;
b.
ketinggian lantai harus
disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut karkas dan/atau daging;
c.
dilengkapi dengan fasilitas
pengendalian serangga, seperti pemasangan lem serangga;
d.
memiliki fasilitas pencucian
tangan.
Pasal 17
Kantor
administrasi dan kantor Dokter Hewan harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang baik;
b.
luas kantor administrasi
disesuaikan dengan jumlah karyawan, didisain untuk keselamatan dan kenyamanan
kerja, serta dilengkapi dengan ruang pertemuan;
c.
kantor Dokter Hewan harus
terpisah dengan kantor administrasi.
Pasal 18
Kantin dan
mushola harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang baik;
b.
luas ruang disesuaikan dengan
jumlah karyawan;
c.
kantin didisain agar mudah
dibersihkan, dirawat dan memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan;
Pasal 19
Ruang istirahat
karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti pakaian (locker)
harus memenuhi persyaratan:
a.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang baik;
b.
terletak di bagian masuk
karyawan atau pengunjung;
c.
tempat istirahat karyawan harus
dilengkapi lemari untuk setiap karyawan yang dilengkapi kunci untuk menyimpan
barang-barang pribadi;
d.
locker untuk pekerja ruang
kotor harus terpisah dari locker pekerja bersih.
Pasal 20
Kamar mandi dan
WC harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang baik;
b.
masing-masing daerah kotor dan
daerah bersih memiliki paling kurang satu unit kamar mandi dan WC;
c.
saluran pembuangan dari kamar
mandi dan WC dibuat khusus ke arah “septic tank”, terpisah dari saluran
pembuangan limbah proses pemotongan;
d.
dinding bagian dalam dan lantai
harus terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, mudah dirawat
serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi;
e.
jumlah kamar mandi dan WC disesuaikan
dengan jumlah karyawan, minimal 1 unit untuk 25 karyawan.
Pasal 21
Fasilitas
pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau
insenerator harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
dibangun dekat dengan kandang
isolasi;
b.
dapat memusnahkan bangkai
dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan secara efektif tanpa menimbulkan
pencemaran lingkungan;
c.
didisain agar mudah diawasi dan
mudah dirawat serta memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan.
Pasal 22
Sarana penanganan
limbah harus memenuhi persyaratan:
a.
memiliki kapasitas sesuai
dengan volume limbah yang dihasilkan;
b.
didisain agar mudah diawasi dan
mudah dirawat,tidak menimbulkan bau dan memenuhi persyaratan kesehatan
lingkungan;
c.
sesuai dengan rekomendasi upaya
pengelolaan lingkungan (UKL) dari Dinas yang membindangi fungsi kesehatan
lingkungan.
Pasal 23
Rumah jaga harus
memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.
dibangun masing-masing di pintu
masuk dan di pintu keluar kompleks RPH;
b.
memiliki ventilasi dan penerangan
yang baik;
c.
atap terbuat dari bahan yang
kuat , tidak toksik dan dapat melindungi petugas dari panas dan hujan;
d.
didisain agar memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan kerja, serta memungkinkan petugas jaga
dapat mengawasi dengan leluasa keadaan di sekitar RPH dari dalam rumah jaga.
Pasal 24
Ruang pelepasan
daging (deboning room) dan pembagian/pemotongan daging (cutting room)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, harus memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a.
disain dan konstruksi dasar
ruang pelepasan daging dan ruang pembagian/pemotongan daging harus dapat
memfasilitasi proses pembersihan dan desinfeki dengan efektif;
b.
memiliki ventilasi dan
penerangan yang cukup;
c.
didisain untuk dapat mencegah
masuk dan bersarangnya serangga, burung, rodensia, dan binatang pengganggu
lainnya di dalam ruang produksi;
d.
lantai terbuat dari bahan yang
kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras,
tidak berlubang, tidak licin, dan landai ke arah saluran pembuangan, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi, tidak mudah mengelupas, serta apabila lantai
terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar
ubin harus ditutup dengan bahan kedap air;
e.
dinding terbuat dari bahan yang
kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, memiliki insulasi yang baik, dan
berwarna terang, dan dinding bagian dalam dilapisi bahan kedap air setinggi
minimal 3 meter dengan permukaan rata, tidak ada celah/lubang, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas;
f.
dinding bagian dalam harus rata
dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan
barang;
g.
sudut pertemuan antara dinding
dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 75 mm, dan sudut
pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari
sekitar 25 mm;
h.
langit-langit harus dibuat
sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya akumulasi debu dan kotoran,
meminimalisasi terjadinya kondensasi, pertumbuhan jamur, dan terjadinya
keretakan, serta mudah dibersihkan;
i.
jendela dan ventilasi harus
didisain untuk menghindari terjadinya akumulasi debu dan kotoran,
mudah dibersihkan dan selalu terawat
dengan baik;
j.
kusen pintu dan jendela, serta
bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, dibuat dari bahan yang
tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan, dan
didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak
dapat masuk;
k.
kusen pintu dan jendela bagian
dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan
barang;
l.
pintu dilengkapi dengan tirai
plastik untuk mencegah terjadinya variasi temperatur dan didisain dapat
menutup secara otomatis;
m.
selama proses produksi
berlangsung temperatur ruangan harus dipertahankan di 15oC.
Pasal 25
Disain dan
konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan persyaratan disain
dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian/pemotongan daging
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
Disain dan konstruksi
dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
kapasitas ruangan disesuaikan
dengan jumlah produk yang akan dibekukan;
b.
disain dan konstruksi dasar
ruang pembekuan cepat harus sama dengan persyaratan disain dan konstruksi dasar
ruang pelepasan dan pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24;
c.
ruang didisain agar tidak
aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang
pembeku;
d.
ruang dilengkapi dengan alat
pendingin yang memiliki kipas (blast freezer) yang mampu mencapai dan
mempertahankan temperatur ruangan di bawah -18oC dengan kecepatan
udara minimum 2 meter per detik.
Pasal 27
Ruang
penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
kapasitas ruangan disesuaikan
dengan jumlah produk beku yang disimpan;
b.
disain dan konstruksi dasar
ruang penyimpanan beku harus sama dengan persyaratan disain dan konstruksi
dasar ruang pelepasan dan pembagian/pemotongan daging sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24;
c.
ruang didisain agar tidak
aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang
penyimpanan beku;
d.
dilengkapi dengan fasilitas
pendingin sebagai berikut:
1.
memiliki ruang penyimpanan
berpendingin yang mampu mencapai dan mempertahankan secara konstan temperatur
daging pada +4oC hingga -4oC (chilled meat); -2oC
hingga -8oC (frozen meat); atau d” -18oC (deep frozen),
serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi udara dapat bergerak
bebas;
2.
ruang penyimpanan berpendingin
dilengkapi dengan thermometer atau display suhu yang diletakkan pada tempat
yang mudah dulihat.
Pasal 28
(1)
RPH berorientasi ekspor harus
mempunyai fasilitas laboratorium sederhana untuk pelaksanaan pemeriksaan dan
pengujian produk, peralatan, air, petugas dan lingkungan produksi yang
diperlukan dalam rangka monitoring penerapan praktek higiene di RPH.
(2)
RPH berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan RPH yang telah memperoleh Sertifikat NKV Level 1.
(3)
Jenis pemeriksaan dan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan organoleptik, pengujian
kimiawi sederhana, seperti uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan
pengeluaran darah, pengujian cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC),
Coliform, E. Coli, Staphylococcus sp, Salmonera sp, serta pengujjian parasit.
(4)
Laboratorium sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a.
letak laboratorium berdekatan
dengan kantor dokter hewan;
b.
tata ruang dan peralatan
laboratorium harus mempertimbangkan faktor keselamatan dan kenyamanan kerja;
c.
konstruksi lantai, dinding dan
langit-langit harus memenuhi persyaratan paling kurang tertutup dengan enamel
berkualitas baik atau dengan cat epoksi, ataupun bahan lainnya yang memiliki
permukaan yang halus, kedap air, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah
perawatannya;
d.
penerangan dalam laboratorium
memiliki intensitas cahaya 540 luks dan dilengkapi dengan lampu berpelindung;
e.
ventilasi di dalam ruangan
harus baik, dilengkapi dengan alat pendingin (air conditioner) ruangan untuk
mengurangi jumlah partikel yang terdapat dalam udara dan untuk meminimalkan
kemungkinan terjadinya variasi temperatur;
f.
untuk keselamatan kerja
petugas, laboratorium dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, alarm (tanda
bahaya) dan sarana P3K;
g.
memiliki ruang dan fasilitas
khusus masing-masing untuk penyimpanan sampel, peralatan dan media;
h.
dilengkapi dengan sarana
pencuci tangan.
Bagian Kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 29
(1)
Seluruh peralatan pendukung dan
penunjang di RPH harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(2)
Seluruh peralatan dan permukaan
yang kontak dengan daging dan jeroan tidak boleh terbuat dari kayu dan
bahan-bahan yang bersifat toksik, misalnya seng, polyvinyl chloride/PVC, tidak
mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3)
Seluruh peralatan logam yang
kontak dengan daging dan jeroan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah
berkarat atau korosif (terbuat dari stainless steel atau logam yang
digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan dan mudah didesinfeksi
serta mudah dirawat.
(4)
Pelumas untuk peralatan yang
kontak dengan daging dan jeroan harus food grade (aman untuk pangan).
(5)
Sarana pencucian tangan harus
didisain sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan telapak tangan,
dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun cair dan pengering dan apabila
menggunakan tissue harus tersedia tempat sampah.
(6)
Peralatan untuk membersihkan
dan men-desinfeksi ruang dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup
sehingga proses pembersihan dan desinfeksi bangunan dan peralatan dapat
dilakukan secara baik dan efektif.
(7)
Bangunan utama paling kurang
harus dilengkapi dengan:
a.
alat untuk memfiksasi hewan
(Restraining box);
b.
alat untuk menempatkan hewan
setelah disembelih (Cradle);
c.
alat pengerek karkas (Hoist);
d.
rel dan alat penggantung karkas
yang didisain agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding;
e.
fasilitas dan peralatan
pemeriksaan post-mortem meliputi;
1.
meja pemeriksaan hati, paru,
limpa dan jantung;
2.
alat penggantung kepala.
f.
peralatan untuk kegiatan
pembersihan dan desinfeksi;
g.
timbangan hewan, karkas dan
daging.
(8)
Ruang jeroan paling kurang
harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan untuk:
a.
mengeluarkan isi jeroan;
b.
mencuci jeroan;
c.
menangani dan memproses jeroan.
(9)
Ruang pelepasan daging dan
pemotongan karkas dan/atau daging paling kurang dilengkapi dengan:
a.
meja stainless steel;
b.
talenan dari bahan polyvinyl;
c.
mesin gergaji karkas dan/atau
daging (bone saw electric);
d.
mesin pengiris daging (slicer);
e.
mesin penggiling daging
(mincer/grinder);
f.
pisau yang terdiri dari pisau
trimming dan pisau cutting;
g.
fasilitas untuk mensterilkan
pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h.
metal detector.
(10)
Untuk mendukung pelaksanaan
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH, dokter hewan penanggung jawab
di RPH dan/atau petugas pemeriksa harus disediakan peralatan paling kurang
terdiri dari:
a.
pakaian pelindung diri;
b.
pisau yang tajam dan pengasah
pisau;
c.
stempel karkas.
(11)
Perlengkapan standar untuk pekerja
pada proses pemotongan meliputi pakaian kerja khusus, apron plastic, tutup
kepala dan sepatu boot yang harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk
setiap pekerja.
(12)
Pada setiap pintu masuk
bangunan utama, harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencuci tangan yang
dilengkapi dengan sabun, desinfektan, foot dip dan sikat sepatu, dengan jumlah
disesuaikan dengan jumlah pekerja.
(13)
Peralatan untuk membersihkan
dan men-desinfeksi ruang dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup agar
dapat dipastikan bahwa seluruh proses pembersihan dan desinfeksi dapat
dilakukan secara baik dan efektif.
BAB III
PERSYARATAN UNIT PENANGANAN
DAGING
(MEAT CUTTING PLANT)
Bagian kesatu
Persyaratan Teknis Unit
Penanganan Daging
Pasal 30
(1)
UPD
wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2)
Persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) disesuaikan dengan peraturan
perundang – undangan.
(3)
Persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) meliputi persyaratan :
a.
Lokasi
b.
Sarana
pendukung
c.
Konstruksi
dasar dan desain bangunan
d.
Peralatan
Bagian kedua
Persyaratan lokasi
Pasal 31
(1)
Lokasi
upd harus sesuai dengan rencana umum tata ruang daerah ( RUTRD ) dan rencana
detail tata ruang daerah ( RDTRD ) atau lokasi yang diperuntukkan sebagai area
agribisnis
(2) Lokasi upd harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a.
Tidak
berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan kontaminan
lainnya.
b.
Tidak
menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan.
c.
Letaknya
lebih rendah dari pemukiman
d.
Memiliki
akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan penanganan daging dan kegiatan
pembersihan serta desinfeksi.
e.
Tidak
berada dekat industri logam dan kimia.
Bagian ketiga
Persyaratan sarana pendukung
Pasal 32
UPD harus dilengkapi dengan sarana
pendukung paling kurang meliputi :
a. Sarana jalan yang baik menuju upd yang
dapat dilalui kendaraan pengangkut daging
b.
Suplai air yagn memenuhi
persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup dan terus menerus.
c.
Sumber tenaga listrik yang
cukup.
d.
Saran penanganan limbah dan
system saluran pembuangan limbah yagn didisain agar aliran limbah mengalir
dengan lancar, mudah diawasi dan mudah dirawat, tidak mencemari tanah, tidak
menimbulkan bau dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia.
Bagian keempat
Persyaratan tata letak,
konstruksi dasar, dan disain
Pasal 33
(1)
Persyaratan bangunan dan tata
letak dalam kompleks UPD paling kurang meliputi :
a.
Bangunan utama 1) ruang
pelepasan daging ( deboning ) dan pembagian / pemotongan daging ( meat cutting
) ;2) ruang pengemasan ; 3) ruang pembekuan cepat ( blast freezer ) ; 4) ruang
penyimpanan dingin ( cold storage ).
b.
Area penurunan ( loading )
karkas dan pemuatan ( unloading ) daging kedalam alat angkut ;
c.
Kantor administrasi dan kantor
dokter hewan ;
d.
Kantin dan mushola ;
e.
Ruang istirahat karyawan dan
tempat penyimpanan barang pribadi atau ruang ganti pakaian ( locker ) kamar mandi dan wc ;
f.
Rumah jaga ;
g.
Sarana penanganna limbah.
(2)
Kompleks UPD harus dipagar
untuk memudahkan penjagaan dan keamanan.
(3) Desain
dan konsturksi dasar bangunan utama upd harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasala 24, pasal 25, pasal 26, dan pasala 27.
(4)
Disain dan konstruksi dasar
ruang kantor administrasi dan kantor dokter hewan pada upd harus memenuhi
persyaratan sebagai mana dimaksut dalam pasal 17.
(5) Disain dan konstruksi
dasar kantin dan mushola pada upd harus memenuhi persyaratan sebagai mana di
maksud pasal 18.
(6) Disain dan konsturksi
dasar ruang penyimpanan barang pribadi ( locker ) / ruang ganti pakaian pada
upd harus memenuhi persyaratan sebagaimana di maksud pasal 19.
(7) Disain dan konstruksi
dasar kamar mandi dan wc pada upd harus memenuhi persyaratan sebagaimana di maksud
pasal 20.
Bagian kelima
Persyaratan Peralatan
Pasal 34
(1)
Seluruh peralatan pendukung dan
penunjang di UPD harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah
dibersihkan dan didensifeksi serat mudah dirawat.
(2)
Seluruh peralatan dan permukaan
yang kontak dengan daging dan jeroan tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan –
bahan yang bersifat toksik (misal: seng, polyvinyl chloride/PVC), tidak mudah
korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
(3)
Seluruh peralatan yang tidak
kontak dengtan daging dan jeroan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah
berkarat atau korosif ( terbuat dari stainless steel atau logam yang
digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan dan mudah didesinfeksi
serta mudah dirawat.
(4)
Pelumas untuk peralatan yang
kontak dengan daging dan jeroan harus food grade ( aman untuk pangan).
(5)
Peralatan untuk membersihkan
dan mendesinfeksi ruang dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup
sehingga proses pembersihan dan desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan
secara baik dan efektif.
(6)
Ruang penangan dan pemotongan
karkas dan/atau daging paling kurang dilengkapi dengan mesin dan peralatan:
a.
meja stainless steel;
b.
talenan dari bahan polyvinyl;
c.
mesin gergaji karkas/daging
(bone saw electric)
d.
mesin pengiris daging (slicer);
e.
mesin penggiling daging
(mincer/grinder);
f.
pisau yang terdiri dari pisau
trimming dan pisau cutting;
g.
fasilitas untuk mensterilkan
pisau yang dilengkapi dengan air panas;
h.
metal detector.
(7)
Perlengkapan standar untuk
pekerja di ruang penanganan dan pemotongan karkas dan/atau daging meliputi
pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup kepala, penutup mulut, sarung
tangan, dan sepatu boot yang harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk
setiap pekerja.
BAB IV
PERSYARATAN HIGIENE DAN SANITASI
Pasal 35
(1)
Pada
RPH dan UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang dapat
memastikan bahwa cara produksi karkas, daging, dan jeroan dapat diterapkan
dengan baik dan konsisten.
(2)
Fasilitas
higiene-sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mampu menjamin bahwa
proses pembersihan dan sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, dan
baju kerja karyawan dapat diterapkan secara efektif.
(3)
Pada
setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk mencuci
sepatu boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas untuk
mensucihamakan sepatu boot yang dilengkapi desinfektan (foot dipping).
(4)
RPH
dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi dengan air
hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan menggunakan
tangan atau tidak kontak langsung dengan telapak tangan.
(5)
Fasilitas
cuci tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi dengan
fasilitas pengering tangan, apabila menggunakan tisue maka harus disediakan
tempat sampah bertutup dan tidak dioperasikan dengan tangan.
(6)
Untuk
mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus memiliki air
bertemperatur tidak kurang dari 82 °C yang memenuhi persyaratan baku mutu air
bersih, atau metoda sterilisasi lain yang efektif.
(7)
Tidak
menggunakan bahan kimia berbahaya yang tidak diperbolehkan digunakan untuk
pangan.
(8)
Setiap
kali selesai proses pemotongan dan produksi karkas, daging, dan jeroan, harus
dilakukan proses pembersihan dan desinfeksi secara menyeluruh.
(9)
Kebersihan
lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek RPH dan/atau UPD harus
dipelihara secara berkala, dengan cara:
a.
menjaga
kebersihan lingkungan dari sampah, kotoran dan sisa pakan;
b.
memelihara
rumput atau pepohonan sehingga tetap terawat;
c.
menyediakan
fasilitas tempat pembuangan sampah sementara di tempat – tempat tertentu.
Pasal 36
(1)
Higiene
personal harus diterapkan pada setiap RPH dan/atau UPD.
(2)
Seluruh
pekerja yang menangani karkas, daging, dan/atau jeroan harus menerapkan praktek
higiene meliputi:
a.
pekerja
yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutama dari penyakit
pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis a, tipus, dll;
b.
harus
menggunakan alat pelindung diri (hair net, sepatu bot dan pakaian kerja);
c.
selalu
mencuci tangan menggunakan sabun dan/atau sanitaiser sebelum dan sesudah
menangani produk dan setelah keluar dari toilet;
d.
tidak
melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin, merokok, meludah,
dll) di dalam bangunan utama rumah potongan.
BAB V
PENGAWASAN KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER
Pasal 37
(1)
Dalam
rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh RPH atau UPD
memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan UPD oleh Dokter Hewan
Berwenang atau Dokter Hewan Penanggung Jawab Perusahaan yang disupervisi oleh
Dokter Hewan Berwenang.
(2)
Kegiatan
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
penerapan
kesehatan hewan di RPH;
b.
pemeriksaan
kesehatan hewan sebelum disembelih (ante-mortem inspection);
c.
pemeriksaan
kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);
d.
pemeriksaan
kesehatan jeroan dan/atau karkas (post-mortem inspection);
e.
pemeriksaan
pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi.
(3)
Dokter
Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hak dan akses untuk memasuki
ruang produksi, melakukan pengawasan, pengambilan sampel, penyidikan,
pemeriksaan dokumen, memusnahkan (codemen) hewan/bangkai, karkas, daging, dan
jeroan yang tidak memenuhi syarat dan dianggap membahayakan kesehatan konsumen.
(4)
Dokter
Hewan Penanggung Jawab Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
hak untuk memasuki ruang produksi, melakukan pengawasan, pengambilan sampel,
pemeriksaan dokumen, memusnahkan (codemen) hewan/bangkai, karkas, daging,
dan/atau jeroan yang tidak memiliki syarat dan dianggap membahayakan kesehatan
konsumen.
(5)
Pemeriksaan
ante-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dikandang
penampungan sementara atau peristirahatan hewan, kecuali apabila atas
pertimbangan dokter hewan berwenang dan/atau dokter hewan penanggung jawab
perusahaan, pemeriksaan tersebut harus dilakukan di dalam kandang isolasi,
kendaraan pengangkut atau alat pengangkut lain.
(6)
Pemeriksaan
post-mortem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan segera setelah
penyelesaian penyembelihan, dan pemeriksaan dilakukan terhadap kepala, karkas
dan/atau jeroan.
(7)
Pemeriksaan
pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dilakukan terhadap pemeliharaan sanitasi bangunan,
lingkungan produksi, peralatan, proses produksi dan higiene personal.
(8)
Karkas,
daging, dan/atau jeroan yang telah lulus pemeriksaan ante-mortem dan
post-mortem harus distempel oleh Dokter Hewan Penanggung Jawab RPH yang berisi
tentang ”Di Bawah Pengawasan Dokter Hewan” dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
(9)
Kesimpulan
hasil pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyatakan karkas, daging,
dan/atau jeroan tersebut aman, sehat, dan utuh dinyatakan dalam Surat
Keterangan Kesehatan Daging (SKKD) yang ditandatangani oleh Doketr Hewan
Berwenang di RPH atau di UPD dengan format SKKD, seperti format model 1.
(10)
Surat
Keterangan Kesehatan Daging sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus disertakan
pada peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan.
(11)
Dokter
Hewan Penanggung Jawab Perusahaan memiliki kewajiban untuk membuat laporan
hasil pengawasan kesmavet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dokter
Hewan Berwenang.
(12)
Dokter
Hewan Berwenang wajib membuat laporan hasil pengawasan kesmavet sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
BAB VI
IZIN MENDIRIKAN RUMAH POTONG HEWAN DAN IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN.
Bagian kesatu
Izin mendirikan rumah potong hewan
Pasal 38
(1)
Setiap
orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki izin mendirikan
RPH.
(2)
Izin
mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di berikan oleh
Bupati/Walikota.
(3)
Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan izin mendirikan RPH harus
memperhatikan persyaratan teknis RPH.
(4)
Izin
mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persutujuan tertulis
dari pemberi izin.
Bagian kedua
Izin usaha pemotongan hewan
dan/atau penanganan daging
Pasal 39
(1)
Setiap
orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan dan/atau
penanganan daging harus memiliki izin usaha dari Bupati/Walikota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Bupati/Walikota
adalah memberika izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging harus
memperhatikan persyaratan teknis tata cara pemotongan dan penanganan daging
ternak ruminansia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Izin
usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.
(4)
Izin
usaha pemotongan hewan dan/atau penganan daging dapat dicabut, apabila:
a.
Kegiatan
pemotongan dan/atau penanganan daging dilakukan di RPH atau UPD yang tidak
memiliki izin mendirikan RPH.
b.
Melanggar
persyaratan teknis tata cara pemotongan dan/atau penanganan daging ternak
ruminansia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
c.
Tidak
melukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
berturut-turut setelah izin diberikan.
d.
Tidak
memiliki NKV, setelah jangka waktu yang ditentukan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1)
Berdasarkan
pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dibedakan
menjadi 3 jenis:
a.
jenis
I: RPH dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah
dan sebagai jasa pelayanan umum.
b.
Jenis
II: RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan
dengan swasta lain.
c.
Jenis
III: RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara
pemerintah daerah dan swasta.
(2)
RPH
dan/atau UPD dengan pengelolaan jenis II dan jenis III sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c, selain menyelenggarakan kegiatan pemotongan
ternak milik sendiri harus memberikan jasa pelayanan pemotongan dan/atau
penanganan daging bagi masyarakat yang membutuhkan.
(3)
Berdasarkan
kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, usaha pemotongan hewan
dibedakan menjadi 2 kategori:
a.
kategori
I: usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas hangat.
b.
Kategori
II: usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas dingin (chilled) dan/atau beku (frozen).
(4) Bagi usaha pemotongan
kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus dilengkapi dengan
fasilitas rantai dingin hingga ketingkat konsumen.
Pasal 40
(1)
Berdasrkan pola pengelolaannya, usaha
pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dibedakan menjadi 3 jenis:
a.
Jenis I : RPH
dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah dan
sebagai jasa pelayanan umum;
b.
Jenis II :
RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan
swasta lain;
c.
Jenis III :
RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara
pemerintah daerah dan swasta.
(2)
RPH dan atau
UPD dengan pola pengelolaan Jenis II dan Jenis III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c, selain menyelenggarakan kegiatan pemotongan
ternak milik sendiri harus memberikan jasa pelayanan pemotongan dan/atau
penanganan bagi masyarakat yang membutuhkan.
(3)
Berdasarkan
kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, usaha pemotongan hewan
dibedakan menjadi 2 ketegori:
a.
Kategori I :
usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas hangat;
b.
Kategori II :
usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas dingin (chilled) dan/atau beku (frozen).
(4)
Bagi usaha
pemotongan kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus
dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin hingga ketingkat konsumen.
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 41
(1)
Setiap RPH
dan/atau UPD harus dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang
kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
(2)
Setiap RPH
harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan sebagai pelaksana dan
penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan masyarakat veterinier di RPH.
(3)
Dokter hewan
penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas
di RPH sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan oleh dokter hewan berwenang.
(4)
Dokter hewan penanggung
jawab teknis sebagaiman dimaksud pada ayta (2) bertanggung jawab terhadap
dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(5)
Setiap RPH
selain mempekerjakan dokter hewan penanggung jawab teknis dapat mempekerjakan
paling kurang satu orang tenaga
pemeriksa daging (keurmaster) dibawah pengawasan pengawasan dokter hewan
penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6)
Setiap RPH
wajib mempekerjakan paling kurang satu orang
juru sembelih halal.
(7)
UPD wajib
mempekerjakan paling kurang:
a.
Satu orang
petugas sebagai penanggung jawab teknis;
b.
Satu orang
tenaga ahli pemotongan daging berdasarkan topografi karkas (butcher)
(8)
Dokter hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan paling
kurang:
a.
Mempunyai
keahlian di bidang meat inspector yang diakui oleh organisasi profesi dokter
hewan dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner;
b.
Mempunyai
keahlian di bidang reproduksi yang diakui oleh organisasi profesi dokter hewan
dan diverifikasi oleh Otoritas Veteriner.
(9)
Petugas
penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a harus
memenuhi
(10)
Tenaga
pemeriksa daging sebagaimana dimaksud pada ayta (2) huruf b harus memenuhi
persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat sebagai juru uji daging yang
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Otoritas Veteriner.
(11)
Juru sembelih halal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan paling kurang mempunyai sertifikat
sebagai juru sembelih halal yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang.
(12)
Tenega ahli pemotong daging paling kurang
harus mempunyai sertifikat sebagai tenaga ahli pemotong daging yang dikeluarkan
oleh lembaga berwenang.
Pasal 42
(1)
Pelatihan
penyegaran kompetisi bagi seluruh SDM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dapat
diselenggarakan oleh manajemen RPH atau Gubernur atau Menteri Pertanian.
(2)
Penyelengaraan
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada Pedoman yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan bekerjasama dengan Badan
SumberDaya Manusia, Kementerian Pertanian.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1)
RPH dan/atau
UPD yang pada waktu dikeluarkannya Peraturan ini belum memenuhi persyaratan
yang diatur dalam Peraturan ini, harus menyesuaikan dengan Peraturan ini paling
lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan ini ditetapkan.
(2)
Dengan
ditetapkannya Peraturan ini, Keputusan Menteri Pertanian Nomor
555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat – syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha
Pemotongan Hewan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 44
Peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
Di Jakarta,
Pada Tanggal
22 Januari 2010
MENTERI
PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUSWONO
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 2 Februari 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
Ttd.
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN
2010 NOMOR 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar