ANALISIS DAMPAK EKONOMI LUMPY SKIN DISEASE (LSD) PADA SAPI
PENDAHULUAN
Lumpy skin disease (LSD) merupakan salah satu penyakit lintas batas (transboundary disease) yang penting dikarenakan penyebarannya yang terus terjadi di dunia. Periode inkubasi 28 hari (OIE Terrestrial Manual). Penyebab penyakit yang menyerang sapi dan kerbau ini adalah virus famili poxviridae yang menyebabkan lesi / kerusakan pada kulit dan dapat menyebabkan kematian akibat infeksi sekunder. Vektor mekanik pembawa virus penyakit ini adalah serangga penghisap darah, seperti nyamuk dan lalat, sehingga rentan berdampak pada peternak rakyat. Kerugian ekonomi dapat disebabkan akibat diantaranya terjadi penurunan produksi susu dan dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada sapi jantan maupun betina. LSD dikenal sebagai ancaman besar bagi ternak sapi dengan dampak substansial terhadap mata pencaharian dan ketahanan pangan, terutama bagi para peternak kecil. LSD termasuk dalam daftar penyakit OIE (Office International des Epizooties) yang memiliki potensi penyebaran yang cepat dan memiliki dampak yang signifikan untuk produktivitas dan perdagangan ternak sapi.
DEFINISI KASUS
Lumpy Skin Disease (LSD), yang juga disebut
Pseudo-urticaria, Neethling virus disease, exanthema nodularis Bovis,
knopvelsiekte (Abutarbush 2017) merupakan penyakit pada sapi, yang disebabkan oleh
virus pox dengan penularan utama diduga melalui
vektor, meskipun mekanismenya masih belum jelas. Penyakit ini dapat menginfeksi sapi dan kerbau serta
mempunyai dampak ekonomi bagi peternak (Indrawati Sendow 2021).
Diagnosa sementara untuk LSD harus dibuat berdasarkan
gejala klinis berikut :
·
Dmam
mencapai 41,5 ° C,
·
Tidak
nafsu makan→ kekurusan,
·
Ingusan,
konjungtivitas, hipersalivasi, depresi
·
Penurunan
produksi susu,
· Terdapat
nodul pada kulit yang berbatas, jelas dan menonjol di bawah kulit atau di bawah
otot dengan diameter antara 2-5 cm.
·
Pembengkakan limfoglandula yaitu Lgl.
subscapularis dan Lgl. prefemoral
·
Hewan
bunting → keguguran
·
Pejantan
→ infertilitas
· Faktor
predisposisi: hewan muda, hewan sedang laktasi dan hewan kurang giziadanya
kelemahan dan kepincangan akut pada kelompok hewan peka
·
Nodul
yang besar dapat nekrotik dan akhirnya fibrotic dan bertahan sampai dengan
beberapa bulan (sitfasts); bekas luka dapat bertahan sampai sangat lama.
Nodul-nodul yang kecil bisa saja sembuh tanpa menimbulkan dampak - Miasis pada
nodul dapat terjadi
·
Vesikel,
erosi dan ulcer bisa saja terjadi pada membrane mukosa mulut dan saluran
alimentarius dan pada trachea dan paru-paru.
·
Limb
dan bagian ventral badan seperti dewlap, brisket, scrotum dan vulva bisa
oedema, dan menyebabkan hewan malas bergerak.
·
Sapi
jantan bisa infertile secara temporal atau permanen
·
Sapi
bunting bisa aboris dan anesturs untuk beberapa bulan
·
Masa
pemulihan dari infeksi parah umumnya lambat karena emasiasi, pneumonia
sekunder, mastitis dan nekrotik skin plug yang biasanya meninggalkan lubang
pada kulit.
Sesuai dengan OIE Terrestrial Animal
Health Code CHAPTER 11.9 tentang Infeksi dengan Lumpy Skin Disease Virus, maka definisi kasus (case definition)
ditetapkan sebagai berikut:
1. Sapi atau kerbau rawa yang menunjukkan gejala
klinis konsisten dengan LSD dan virus LSD (LSDV) telah diisolasi dari sampel;
ATAU
2. Sapi atau kerbau rawa yang menunjukkan gejala
klinis konsisten dengan LSD atau secara epidemiologi terkait dengan kasus
dicurigai atau dikonfirmasi dan diidentifikasi positif antigen atau asam nukleat
spesifik untuk LSDV; ATAU
3. Sapi atau
kerbau rawa yang menunjukkan gejala klinis konsisten dengan LSD, atau secara
epidemiologi terkait dengan kasus dicurigai atau dikonfirmasi dan telah
terdeteksi antibodi spesifik untuk LSDV.
FAKTOR RISIKO PENYEBARAN LSD
1.
Mobilitas
ternak dari satu lokasi ke lokasi yang lain, dari 8 peternak yang terkonfirmasi positif dan
suspek ada 4 peternak yang memiliki riwayat perpindahan ternak, baik dari pasar
hewan atau dari kandang lain.
2.
Kecamatan
Jatinom dan kecamatan Tulung adalah
wilayah yang padat ternak dan daerah lintas batas, yang memiliki
mobilitas ternak keluar masuk yang cukup tinggi
3.
Petugas
pelayanan kesehatan hewan yang melayani antar kandang dan antar desa, antar
kecamatan dan antar kabupaten
4.
Tata
kelola kotoran kandang yang tidak baik mengundang vektor berkerumun. Cara
penularan utama virus LSD adalah secara mekanik melalui vektor artropoda. Beberapa
jenis vektor dapat berperan penting seperti nyamuk (mis. Culex mirificens and
Aedes natrionus), lalat penggigit (Stomoxys calcitrans and Biomyia fasciata)
dan caplak jantan (Riphicephalus appendiculatus and Amblyomma hebraeum).
5.
Peralatan
kesehatan hewan dan IB yang tidak steril, penggunaan jarum suntik yang tidak
sekali pakai dan penggunaan glove dan sheet IB yang tidak sekali pakai.
6.
Lemahnya
Biosecurity di kandang sapi
7.
Alat
transportasi ternak untuk pengiriman sapi dari atau ke pasar hewan.
PERKIRAAN DAMPAK
a.
Perkiraan
populasi sapi terancam LSD di suatu wilayah.adalah kecamatan A 13.176 ekor dan kecamatan B adalah 6.367 ekor, yang terdiri atas sapi perah dan sapi potong.
b.
Dengan
asumsi kematian yang terjadi 0-10% dari populasi/kelompok, dan angka morbiditas
mencapai 45% dari populasi/kelompok apabila wabah tidak terkendali (Rencana
Kontingensi LSD, Dirjend PKH Kementerian Pertanian RI 2022).
c.
Dengan
asumsi morbiditas 45% dampak langsung dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan
berupa penurunan berat badan/kekurusan/emasiasi (kehilangan kondisi tubuh
karena tidak mau makan); kehilangan produksi susu temporer atau permanen;
penurunan atau kehilangan seluruhnya fertilitas pada sapi jantan dan sapi
betina; keguguran; dan kerusakan kulit
yang permanen penurunan reproduksi
(akibat keguguran) serta penurunan nilai ekonomi harga bakalan ternak
diperkirakan signifikan.
d.
Dampak
ekonomi pada biaya manajemen pengendalian penyakit, dengan asumsi morbiditas 45%
(buku Rencana kontingensi LSD, 2022), berupa biaya obat dan peralatan medis Rp.
100.000 / ekor, asumsi jumlah ternak siap jual 30% dari populasi, asumsi harga
sapi per ekor Rp 18.000.000, penurunan harga sapi mencapai 47% per ekor dari
harga normal-, asumsi harga daging sapi Rp. 98.000,-, asumsi harga susu per
liter Rp. 7.000,-. asumsi ternak sapi perah laktasi 10% dari populasi,
penurunan produksi susu 65% (drh. Naipospos, Webinar LSD 2022), produksi susu
normal harian per ekor 10 ltr beserta biaya pengobatan adalah sebagai berikut:
kecamatan |
populasi sapi |
penurunan harga sapi 47% (Rp) |
penurunan BB 10 % (Rp) |
Biaya pengobatan (Rp) |
penurunan produksi susu/hari (Rp) |
kecamatan A |
13176 |
15.048.309.600 |
4.357.962.000 |
592.920.000 |
59.950.800 |
kecamatan B |
6367 |
8.079.723.000 |
2.105.885.250 |
286.515.000 |
28.969.850 |
Total |
23.128.032.600 |
6.463.847.250 |
879.435.000 |
88.920.650 |
KESIMPULAN
- Dampak langsung berupa kerugian ekonomi akibat
kesakitan di Kecamatan terdampak adalah Rp. 23.128.032.600-, akibat penurunan berat badan adalah Rp. 6.463.847.250 biaya pengobatan untuk ternak terdampak adalah Rp. 879.435.000,- dan kerugian akibat penurunan
produksi susu per hari sebesar Rp. 88.920.650,- .
- Kesakitan dan kematian ternak juga berdampak terhadap sosial budaya masyarakat.
SARAN
i. Memperketat
aturan pemasukan ternak masuk pasar hewan, jika diperlukan dilakukan penutupan
pasar hewan sementara.
ii.
Mencegah
masuknya ternak baru pada pemerintahan desa yang belum terjangkit penyakit
iii. Mencegah keluarnya ternak yang sakit pada pemerintahan desa yang sudah terjangkit. Terutama menenangkan masyarakat untuk tidak menjual ternak karena panik. Dalam hal ini pemerintahan desa bekerjasama dengan tenaga kesehatan hewan melakukan tatalaksana kasus dengan pengobatan ternak yang sakit dan mengedukasi peternak.
iv. Tindakan kewaspadaan Dini dan penanggulangan sesuai pedoman Rencana Kontijensi LSD dilaksanakan di seluruh wilayah yang diprioritaskan di Zona Kontrol ( radius 10 Km) dan peningkatan surveilans di Zona Surveilans (radiun 28 Km), terutama di desa desa dengan kepadatan sapi tinggi.
v. Peningkatan Kerjasama antar lintas sectoral agar mempermudah dalam pengendalian penyebaran penyakit dan mempercepat dalam pemberantasan penyakit.
by. ely susanti _Klaten, 24 Desember 2022